Maulid Nabi atau kelahiran Rasulullah diyakini
oleh sebagian besar umat Islam Indonesia terjadi pada tanggal 12 Rabiul Awal di
tahun gajah. Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury di dalam Ar-Rakhiqul
Makhtum berpendapat tanggal 9 Rabiul Awal. Sedangkan Tamim Ansary dalam Destiny
Disrupted: A History of the World through Islamic Eyes justru mengatakan
tanggalnya yang tepat tidak diketahui karena tak seorang pun memberi banyak
perhatian pada saat kelahiran Muhammad.
Perayaan maulid Nabi Muhammad SAW, tidak lain
merupakan warisan peradaban Islam yang dilakukan secara turun temurun. Dalam
catatan historis, Maulid dimulai sejak zaman kekhalifahan Fatimiyah di bawah
pimpinan keturunan dari Fatimah az-Zahrah, putri Nabi Muhammad SAW. Perayaan
ini dilaksanakan atas usulan panglima perang, Shalahuddin al-Ayyubi (1137M-1193
M), kepada khalifah agar mengadakan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Perayaan Maulid dibeberapa daerah sudah
menjadi tradisi, bahkan ada yang mengarah ke praktik syirik dengan mengadakan
sesajian, berkurban untuk alam, laut misalkan, pemubadziran makanan atau harta,
ikhtilath atau campur baur laki-laki dan perempuan, praktek yang mengancam jiwa
dengan berdesak-desakan atau rebutan makanan, dan lainnya yang bertentangan
dengan syari’at.
Dibalik semua perayaan yang berlangsung
tersebut ada hal yang paling penting kita maknai, agar perayaan itu bukan
sekedar seremonial belaka.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan
yang baik bagimu (iaitu) bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan
(kedatangan) Hari Kiamat dan ia banyak menyebut (Nama) Allah."
(al-Ahzab: 21)
a.
Sejarah
Maulid Nabi
Sejarah manusia telah melahirkan banyak tokoh
hebat yang telah menjadi titik balik suatu perubahan peradaban dan tatanan
masyarakat tertentu hingga kemudian layak menjadi idola bagi masyarakat
tersebut. Tokoh yang diidolakan ini merupakan unsur vital dari identitas yang
paling sejati dari seseorang. Figur idola menjadi miniatur dari idealisme,
Pengentalan dari berbagai jalan hidup yang diyakini. Bagaimana pun, sistem
keyakinan selalu mengupayakan pengidolaan. Karena tanpa itu, keyakinan akan
kehilangan kiblat.
Dalam tradisi Islam, ada budaya perayaan
maulid Nabi: event yang dimanfaatkan untuk "menghidupkan" idola lewat
pembacaan kembali lembaran-lembaran sejarah Nabi Muhammad. Dalam dunia Islam,
Nabi Muhammad mestinya adalah super idol bagi setiap generasi Islam sepanjang
zaman. Sayangnya, dalam proses gesekan budaya dan rentang waktu yang panjang,
keidolaan Nabi terkadang tereduksi menjadi tokoh non empirik.
Sebagai ritual keagamaan, tradisi maulid
memang masih diperdebatkan soal benar-tidaknya; sunnah-bid'ahnya. Perdebatan
yang sebenarnya hanya pada level kulit; bentuk dan cara, bukan pada esensi
"spiritualitas sejarah" dan "penghadiran ulang ketokohan"
yang diupayakan lewat tradisi tersebut. Merayakan maulid Nabi berati berusaha
menghadirkan kembali sosok ketokohan beliau dan memperpendek rentang waktu yang
ada.
Sebagai sebuah seremonial, peringatan Maulid
Nabi memang baru dilakukan pada pertengahan Abad ke-6 Hijriah. Tradisi ini
dimulai di Mosul oleh Syaikh Umar bin Muhammad al-Mala, kemudian dikembangkan
oleh Muzhaffar al-Din bin Zaynuddin (549-630), penguasa Irbil. Tapi, esensi
maulid sebagai penghadiran tokoh sejarah secara praktis sudah sangat mengakar
sejak generasi pertama umat Islam. Para sahabat adalah orang-orang yang paling
"gemar" menghadirkan sejarah Rasulullah dalam ruang kehidupan mereka,
mulai dari urusan rumah tangga sampai masalah politik dan militer.
b.
Tujuan
Maulid Nabi
Kehadiran sejarah Rasulullah menjadi inspirasi
paling sempurna bagi seorang muslim dalam menjalani apapun dalam realitas
hidupnya. Shalah al-Din al-Ayyubi, panglima agung muslimin dan teman perjuangan
Muzhaffar dalam Perang Salib, menggunakan tradisi pembacaan sejarah Nabi
sebagai strategi untuk menggedor motivasi pasukannya. Ada sisi-sisi sejarah
Nabi yang memberikan gambaran sempurna sebuah jiwa heroik dan ksatria. Maka,
al-Ayyubi meletakkan Rasulullah sebagai idola militer tentara melalui tradisi
pembacaan sejarahnya.
Upaya al-Ayyubi membangkitkan heroisme
muslimin vis a vis Pasukan Salib dalam bentuknya paling suspens. Dan, itu
mutlak diperlukan sebagai urat nadi dari sebuah perlawanan dan perjuangan.
Al-Ayyubi memenangkan Perang Salib, mengusir
mereka dari Al-Quds dan daerah-daerah muslimin yang lain--mungkin salah satunya
berkat pengidolaan sejarah dan motivasi historik yang terus ditanamkan dalam
ruang pikiran, jiwa dan pandangan hidup mereka.
Sejarah dibaca memang untuk melahirkan tokoh
di masa lampau. Ini menjadi salah satu filosofi dari displin sejarah itu
sendiri. Dalam tradisi maulid kita, hal itu sangat kental. Bahkan, tidak hanya
melahirkan tapi juga menyegarkan kembali bahwa hanya ada satu tokoh kunci dan
super idol dalam keyakinan kita, yakni Nabi Muhammad saw.
Menciptakan idola dari tokoh sejarah adalah
hal yang cukup sulit. Tokoh sejarah hanya digambarkan dalam bentuk
cerita-cerita, tidak bersentuhan secara empirik dengan realitas yang sedang
kita alami. Gambaran dalam sejarah tidak sekongkrit ketika seseorang secara
langsung bertemu atau merasakan sendiri bagaimana sepak terjang tokoh itu.
Diperlukan penciptaan momen yang tepat agar sejarahnya hadir, menyentuh dan
meninggalkan pengaruh semi-empirik terhadap seseorang.
Di sinilah, peringatan sejarah secara serentak
seperti Maulid Nabi menemukan urgensitasnya yang paling esensial. Seseorang
lebih mudah mencintai ayah, ibu, saudara atau temannya daripada mencintai
Rasulullah, karena ada interaksi langsung dengan mereka. Lebih mudah
mengidolakan tokoh yang berada di sekeliling kita daripada mengidolakan tokoh
sejarah seperti Rasulullah saw. Kita bisa bersentuhan langsung dengan kiprah
dan kepribadian orang-orang yang berada di sekeliling kita. Mereka lebih mudah
mengisi ruang pikiran dalam hidup kita daripada tokoh sejarah.
Sulitnya menghadirkan tokoh sejarah di detak
dada, diakui oleh Rasulullah sendiri. Beliau memberikan posisi istimewa untuk
orang-orang yang mempercayai beliau padahal mereka tidak pernah melihat beliau.
"Mereka saudara-saudaraku," sabda beliau dalam sebuah hadits. Untuk
para shahabat di sekelilingnya, Rasulullah tidak menyebut mereka
"saudara", tapi "teman".
Keyakinan terhadap tokoh sejarah menjadi salah
satu bagian paling inti dari agama. Dalam al-Durr al-Mantsur, al-Suyuthi
menyebutnya sebagai keimanan terhadap al-ghayb dalam arti tidak hadir dalam
realitas hidup. Kepercayaan terhadap al-ghayb ini merupakan point pokok dari
religiusitas seseorang.
Makna Maulid Nabi yang dalam dunia kita terus
diperingati setiap tanggal kelahiran beliau bukan lagi sebuah kesemarakan
seremonial, tapi sebuah momen spiritual untuk mentahbiskan beliau sebagai figur
tunggal yang mengisi pikiran, hati dan pandangan hidup kita.
Dalam maulid kita tidak sedang membikin sebuah
upacara, tapi perenungan dan pengisian batin agar tokoh sejarah tidak menjadi
fiktif dalam diri kita, tapi betul-betul secara kongkrit tertanam, mengakar,
menggerakkan detak-detak jantung dan aliran darah ini.
Maka seperti al-Ayyubi yang menghadirkan Nabi
Muhammad di medan perang kita mesti menghadirkan beliau dalam ruang hidup yang
lain. Tidak hanya dalam bentuk cerita-cerita yang mengagumkan, tapi juga
semangat keteladanan dalam menjalani realitas hidup ini.
Dalam konteks ini, Maulid harus
diartikulasikan sebagai salah satu upaya transformasi diri atas kesalehan umat.
Yakni, sebagai semangat baru untuk membangun nilai-nilai profetik agar tercipta
masyarakat madani (Civil Society) yang merupakan bagian dari demokrasi seperti
toleransi, transparansi, anti kekerasan, kesetaraan gender, cinta lingkungan,
pluralisme, keadilan sosial, ruang bebas partisipasi, dan humanisme. Dalam
tatanan sejarah sosio antropologis Islam, Nabi Muhammad SAW dapat dilihat dan
dipahami dalam dua dimensi sosial yang berbeda dan saling melengkapi.
Pertama, dalam perspektif teologis-religius,
Nabi Muhammad SAW dilihat dan dipahami sebagai sosok nabi sekaligus rasul
terakhir dalam tatanan konsep keislaman. Hal ini memposisikan Nabi Muhammad SAW
sebagai sosok manusia sakral yang merupakan wakil Tuhan di dunia yang bertugas
membawa, menyampaikan, serta mengaplikasikan segala bentuk pesan “suci” Tuhan
kepada umat manusia secara universal.
Kedua, dalam perspektif sosial-politik, Beliau
dilihat dan dipahami sebagai sosok politikus andal. Sosok individu Nabi
Muhammad SAW yang identik dengan sosok pemimpin yang adil, egaliter, toleran,
humanis, serta non-diskriminatif dan hegemonik, yang kemudian mampu membawa
tatanan masyarakat sosial Arab kala itu menuju suatu tatanan masyarakat sosial
yang sejahtera dan tentram.
Tentu, sudah saatnya bagi kita untuk mulai
memahami dan memperingati Maulid secara lebih mendalam dan fundamental,
sehingga kita tidak hanya memahami dan memperingatinya sebatas sebagai hari
kelahiran sosok nabi dan rasul terakhir yang sarat dengan serangkaian
ritual-ritual sakralistik-simbolik keislaman semata, namun menjadikannya
sebagai kelahiran sosok pemimpin.
Karena bukan menjadi rahasia lagi bila kita
sedang membutuhkan sosok pemimpin bangsa yang mampu merekonstruksikan suatu
citra kepemimpinan dan masyarakat sosial yang ideal, egaliter, toleran, humanis
dan nondiskriminatif, sebagaimana dilakukan Nabi Muhammad SAW untuk seluruh umat
manusia. Kontekstualisasi peringatan Maulid tidak lagi dipahami dari perspektif
keislaman saja, melainkan harus dipahami dari berbagai perspektif yang
menyangkut segala persoalan. Misal, politik, budaya, ekonomi, maupun agama.
c.
Kelahiran
Muhammad adalah Rahmat
Satu yang pasti, berdasarkan hadits shahih,
Rasulullah lahir pada hari Senin. Satu lagi yang pasti, kelahiran Rasulullah
adalah rahmat. Bagaimana tidak, sementara beliau yang empat puluh tahun
kemudian diangkat sebagai nabi dan Rasul. Sekaligus penutup para nabi dan
penghulu para rasul.
Bacalah kembali ayat di atas. Bukankah dengan
demikian kelahiran Nabi adalah rahmat yang sangat besar? . "Allah tidak
mengatakan 'rasul dari kalian' tetapi mengatakan 'dari kaummu sendiri',"
kata Sayyid Qutb saat menjelaskan ayat ini dalam Fi Zhilalil Qur'an,
"ungkapan ini lebih sensitif, lebih dalam hubungannya dan lebih
menunjukkan ikatan yang mengaitkan mereka. Karena beliau adalah bagian dari
diri mereka, yang bersambung dengan mereka dengan hubungan jiwa dengan jiwa,
sehingga hubungan ini lebih dalam dan lebih sensitif."
"Allah SWT menyebutkan limpahan nikmat
yang telah diberikan-Nya kepada orang-orangy mukmin melalui seorang rasul yang
diutus oleh-Nya dari kalangan mereka sendiri," tulis Ibnu Katsir saat
menjelaskan ayat yang sama, "yakni dari bangsa mereka dan sebahasa dengan
mereka."
Rasulullah merasakan beratnya penderitaan dan
kesulitan umatnya, bahkan lebih berat bagi Rasulullah daripada apa yang
dirasakan oleh umatnya sendiri. Maka setiap saat yang diperjuangkan adalah
umat, yang dibela adalah umat, yang dipikirkan menjelang wafat adalah umat.
"Ummatii... ummatii...", kata Rasulullah yang selalu memikirkan
umatnya menjelang wafatnya.
Rasulullah juga sangat menginginkan umatnya
memperoleh hidayah serta kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Maka segala
hal yang diperintahkan Allah untuk disampaikan kepada umatnya telah beliau
sampaikan. Segala hal yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka
beliau paparkan. Bahkan Rasulullah menyimpan doa terbaiknya untuk umatnya kelak
di yaumul hisab agar umatnya beroleh syafaat. Itulah bentuk-bentuk kasih sayang
Rasulullah kepada umatnya.
Kini tergantung kita, apakah mau mengikuti
petunjuk Rasulullah atau menentangnya. Mengambil sunnah atau membuangnya.
Mengikuti ajarannya atau meninggalkannya. Meneladaninya atau mengabaikannya.
Orang mukmin pasti memilih yang pertama, karena itulah bukti cintanya pada
Allah dan Rasul-Nya, sekaligus jalan keselamatan dan kebahagiaan.
Inilah bagian penting dari refleksi maulid
Nabi. Kelahiran Rasulullah yang merupakan rahmat, seharusnya membuat kita
menjadi umatnya yang selamat dan memperoleh syafaat dengan jalan mencintainya
dan mengamalkan ajaran-ajarannya
d.
Kenapa
Nabi Muhammad SAW Orang Arab?
Musim maulid
seperti ini banyak sekali ceramah yang mengupas tentang kisah lahirnya Nabi
Muhammad SAW. Ada satu pertanyaan menggelitik saat membahas tentang kelahiran
beliau, yaitu apa rahasia dan hikmah dibalik takdir Allah SWT menetapkan bahwa
Nabi dan Rasul terakhir yang risalahnya berlaku untuk seluruh umat manusia,
harus beruwujud seorang Arab, yaikni berbangsa dan juga berbahasa Arab. Kenapa
bukan orang Eropa saja, atau Cina, atau Afrika, atau juga orang Betawi?
Kenapa Allah
SWT memilih untuk menurunkan risalah abadi dan universal itu di tanah Arab?
Memangnya apa sih keistimewaan Jazirah Arabia itu?
Pernyataan
ini cukup menggeletik rasa ingin tahu kita, mengingat saat ini negeri Arab
justru menjadi pusat konflik bersenjata international. Negeri yang tidak pernah
sepi dari huru-hara dan kerusuhan. Kalau kita kaitkan dengan visi misi Islam
yang salah satunya adalah rahmatan llil-alamin, rasanya kok rada kehilangan
makna.
Sesungguhnya
sudah ada banyak kajian tentang hal ini, salah satu apa yang ditulis oleh Dr.
Said Ramadhan Al-Buthi dan beberapa ulama lainnya.
Al-Buthi
menegaskan bahwa turunnya Islam pertama di negeri arab bukan sekedar kebetulan.
Juga bukan semata karena di sana ada tokoh paling jahat semacam Abu Jahal cs.
Namun ada sekian banyak skenario samawi yang akhir-akhir ini mulai terkuak. Kita
di zaman sekarang ini akan menyaksikan betapa rapi rencana besar dan strategi
Allah jangka panjang, sehingga pilihan untuk menurunkan risalah terakhir-Nya
memang negeri Arabia.
Apa yang
disebutkan Al-Buthi itu benar. Negeri Arab yang meski tandus, tidak ada pohon
dan air, namun negeri ini menyimpan banyak alasan untuk mendapatkan kehormatan
itu. Saya mencoba menuliskan beberapa alasan rabbani dan hikmah itu, di
antaranya yang bisa kita gali adalah:
1. Di Jazirah
Arab Ada Rumah Ibadah Pertama
Tanah Syam (Palestina)
merupakan negeri para nabi dan rasul. Hampir semua nabi yang pernah ada di
tanah itu. Sehingga hampir semua agama dilahirkan di tanah ini. Yahudi dan
Nasrani adalah dua agama besar dalam sejarah manusia yang dilahirkan di negeri
Syam.
Namun sesungguhnya
rumah ibadah pertama di muka bumi justru tidak di Syam, melainkan di Jazirah
Arabia. Yaitu dengan dibangunnya rumah Allah (Baitullah) yang pertama kali di
tengah gurun pasir jazirah arabia.
Rumah ibadah
pertama itu menurut riwayat dibangun jauh sebelum adanya peradaban manusia.
Adalah para malaikat yang turun ke muka bumi atas izin Allah untuk
membangunnya. Lalu mereka bertawaf di sekeliling ka`bah itu sebagai upaya
pertama menjadikan rumah itu sebagai pusat peribadatan umat manusia hingga hari
kiamat menjelang.
Ketika Adam
as diturunkan ke muka bumi, beliau diturunkan di negeri yang sekarang dikenal
dengan India. Sedangkan isterinya diturunkan di dekat ka`bah. Lalu atas izin
Allah keduanya dipertemukan di Jabal Rahmah, beberapa kilometer dari tempat
dibangunnya ka`bah.
Maka jadilah
wilayah sekitar ka`bah itu sebagai tempat tinggal mereka dan ka`bah sebagai
tempat pusat peribadatan umat manusia. Dan di situlah seluruh umat manusia
berasal dan di tempat itu pula manusia sejak dini sudah mengenal sebuah rumah
ibadah.
Hal ini
sesuai dengan firman Allah SWT:
Sesungguhnya
rumah yang pertama dibangun untuk manusia beribadah adalah rumah yang di Bakkah
(Makkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi manusia. (QS. Ali Imran: 96)
2. Jazirah
Arabia Adalah Posisi Strategis
Bila kita
cermati peta dunia, kita akan mendapati adanya banyak benua yang menjadi titik
pusat peradaban manusia. Dan Jazirah Arabia terletak di antara tiga benua besar
yang sepanjang sejarah menjadi pusat peradaban manusia.
Sejak masa
Rasulullah SAW, posisi jazirah arabia adalh posisi yang strategis dan tepat
berada di tengah-tengah dari pusat peradaban dunia.
Bahkan di
masa itu, bangsa Arab mengenal dua jenis mata uang sekaligus, yaitu dinar dan
dirham. Dinar adalah jenis mata uang emas yang berlaku di Barat yaitu Romawi
dan Yunani. Dan Dirham adalah mata uang perak yang dikenal di negeri timur
seperti Persia. Dalam literatur fiqih Islam, baik dinar maupun dirham sama-sama
diakui dan dipakai sebagai mata uang yang berlaku.
Ini
menunjukkan bahwa jazirah arab punya akses yang mudah baik ke barat maupun ke
timur. Bahkan ke utara maupun ke selatan, yaitu Syam di utara dan Yaman di
Selatan.
Dengan
demikian, ketika Muhammad SAW diangkat menjadi nabi dan diperintahkan
menyampaikannya kepada seluruh umat manusia, sangat terbantu dengan posisi
jazirah arabia yang memang sangat strategis dan tepat berada di pertemuan semua
peradaban.
Kita tidak
bisa membayangkan bila Islam diturunkan di wilayah kutub utara yang dingin dan
jauh dari mana-mana. Tentu akan sangat lambat sekali dikenal di berbagai
peradaban dunia.
Juga tidak
bisa kita bayangkan bila Islam diturunkan di kepulauan Irian yang jauh dari
peradaban manusia. Tentu Islam hingga hari ini masih mengalami kendala dalam
penyebaran.
Sebaliknya,
jazirah arabia itu memiliki akses jalan darat dan laut yang sama-sama
bermanfaat. Sehingga para dai Islam bisa menelusuri kedua jalur itu dengan
mudah.
Sehingga di
abad pertama hijriyah sekalipun, Islam sudah masuk ke berbegai pusat peradaban
dunia. Bahkan munurut HAMKA, di abad itu Islam sudah sampai ke negeri nusantara
ini. Dan bahkan salahseorang shahabat yaitu Yazid bin Mu`awiyah ikut dalam
rombongan para dai itu ke negeri ini dengan menyamar.
3. Kesucian
Bangsa Arab
Stigma yang
selama ini terbentuk di benak tiap orang adalah bahwa orang arab di masa
Rasulullah SAW itu jahiliyah. Keterbelakangan teknologi dan ilmu pengetahuan
dianggap sebagai contoh untuk menjelaskan makna jahiliyah.
Padahal yang
dimaksud dengan jahiliyah sesungguhnya bukan ketertinggalan teknologi, juga
bukan kesederhanaan kehidupan suatu bangsa. Jahiliyah dalam pandangan Quran
adalah lawan dari Islam. Maka hukum jahiliyah adalah lawan dari hukum Islam.
Kosmetik jahiliyah adalah lawan dari kosmetik Islam. Semangat jahiliyah adalah
lawan dari semangat Islam.
Bangsa arab
memang sedikit terbelakang secara teknologi dibandingkan peradaban lainnya di
masa yang sama. Mereka hidup di gurun pasir yang masih murni dengan menghirup
udara segar. Maka berbeda dengan moralitas maknawiyah bangsa lain yang sudah
semakin terkotori oleh budaya kota, maka bangsa arab hidup dengan kemurnian
niloai kemanusiaan yang masih asli.
Maka sifat
jujur, amanah, saling menghormati dan keadilan adalah ciri mendasar dari watak
bangsa yang hidup dekat dengan alam. Sesuatu yang telah sulit didapat dari
bangsa lain yang hidup di tengah hiruk pikuk kota.
Sebagai
contoh mudah, bangsa Arab punya akhlaq mulia sebagai penerima tamu. Pelayanan
kepada seorang tamu yang meski belum dikenal merupakan bagian dari harga diri
seorang arab sejati. Pantang bagi mereka menyia-nyiakan tamu yang datang. Kalau
perlu semua persediaan makan yang mereka miliki pun diberikan kepada tamu.
Pantang bagi bangsa arab menolak permintaan orang yang kesusahan. Mereka amat
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang paling dasar.
Ketika bangsa
lain mengalami degradasi moral seperti minum khamar dan menyembah berhala,
bangsa arab hanyalah menjadi korban interaksi dengan mereka. 360 berhala yang
ada di sekeliling ka`bah tidak lain karena pengaruh interaksi mereka dengan
peradaban barat yang amat menggemari patung. Bahkan sebuah berhala yang paling
besar yaitu Hubal, tidak lain merupakan sebuah patung yang diimpor oleh bangsa
Arab dari peradaban luar. Maka budaya paganisme yang ada di arab tidak lain
hanyalah pengaruh buruk yang diterima sebagai imbas dari pergaulan mereka
dengan budaya romawi, yunani dan yaman.
Termasuk juga
minum khamar yang memabukkan, adalah budaya yang mereka import dari luar
peradaban mereka.
Namun sifat
jujur, amanah, terbuka dan menghormati sesama merupakan akhlaq dan watak dasar
yang tidak bisa hilang begitu saja. Dan watak dasar seperti ini dibutuhkan
untuk seorang dai, apalagi generasi dai pertama.
Mereka tidak
pernah merasa perlu untuk memutar balik ayat Allah sebagaimana Yahudi dan Nasrani
melakukannya. Sebab mereka punya nurani yang sangat bersih dari noda kotor.
Yang mereka lakukan adalah taat, tunduk dan patuh kepada apa yang Allah
perintahkan. Begitu cahaya iman masuk ke dalam dada yang masih bersih dan suci,
maka sinar itu membentuk proyeksi iman yang amal yang luar biasa. Berbeda
dengan bani Israil yang dadanya sesat dengan noda jahiliyah, tak satu pun ayat
turun kecuali ditolaknya. Dan tak satu pun nabi yang datang kecuali
didustainya.
Bangsa Arab
tidak melakukan hal itu saat iman sudah masuk ke dalam dada. Maka ending sirah
nabawiyah adalah ending yang paling indah dibandingkan dengan nabi lainnya.
Sebab pemandangannya adalah sebuah lembah di tanah Arafah di mana ratusan ribu
bangsa arab berkumpul melakukan ibadah haji dan mendengarkan khutbah seorang
nabi terakhir. Sejarah rasulullah berakhir dengan masuk Islamnya semua bangsa
arab. Bandingkan dengan sejarah kristen yang berakhir dengan terbunuhnya
(diangkat) sang nabi. Atau yahudi yang berakhir dengan pengingkaran atas ajaran
nabinya.
Hanya bangsa
yang hatinya masih bersih saja yang mampu menjadi tiang pancang peradaban
manusia dan titik tolak penyebar agama terakhir ke seluruh penjuru dunia.
4. Faktor
Bahasa
Sudah menjadi
ketetapan Allah SWT untuk mengirim nabi dengan bahasa umatnya. Agar tidak
terjadi kesalahan dalam komunikasi antara nabi dan umatnya.
Namun ketika
semua nabi telah terutus untuk semua elemen umat manusia, maka Allah menetapkan
adanya nabi terakhir yang diutus untuk seluruh umat manusia. Dan kelebihannya
adalah bahwa risalah yang dibawa nabi tersebut akan tetap abadi terus hingga
selesainya kehidupan di muka bumi ini.
Untuk itu
diperlukan sebuah bahasa khusus yang bisa menampung informasi risalah secara
abadi. Sebab para pengamat sejarah bahasa sepakat bahwa tiap bahasa itu punya
masa eksis yang terbatas. Lewat dari masanya, maka bahasa itu akan tidak lagi
dikenal orang atau bahkan hilang dari sejarah sama sekali.
Maka harus
ada sebuah bahasa yang bersifat abadi dan tetap digunakan oleh sejumlah besar
umat manusia sepanjang masa. Bahasa itu ternyata oleh pakar bahasa adalah
bahasa arab, sebagai satu-satunya bahasa yang pernah ada dimuka bumi yang sudah
berusia ribuan tahun dan hingga hari ini masih digunakan oleh sejumlah besar
umat manusia.
Dan itulah
rahasia mengapa Islam diturunkan di arab dengan seorang nabi yang berbicara
dalam bahasa arab. Ternyata bahasa arab itu adalah bahasa tertua di dunia.
Sejak zaman nabi Ibrahim as bahasa itu sudah digunakan. Bahkan sebagian ulama
berpendapat bahwa bahasa arab adalah bahasa umat manusia yang pertama.
Logikanya
sederhana, karena ada sebuah hadits yang menyebutkan bahwa bahasa ahli surga
adalah bahasa arab. Dan asal-usul manusia juga dari surga, yaitu nabi Adam dan
isterinya Hawwa yang keduanya pernah tinggal di surga. Wajar bila keduanya
berbicara dengan bahasa ahli surga. Ketika keduanya turun ke bumi, maka bahasa
kedua `alien` itu adalah bahasa arab, sebagai bahasa tempat asal mereka. Dan
ketika mereka berdua beranak pinak, sangat besar kemungkinannya mereka
mengajarkan bahasa surga itu kepada nenek moyang manusia, yaitu bahasa arab.
Sebagai
bahasa yang tertua di dunia, wajarlah bila bahasa arab memiliki jumlah kosa
kata yang paling besar. Para ahli bahasa pernah mengadakan penelitian yang
menyebutkan bahwa bahasa arab memiliki sinonim yang paling banyak dalam
penyebutan nama-nama benda. Misalnya untuk seekor unta, orang arab punya
sekitar 800 kata yang identik dengan unta. Untuk kata yang identik dengan
anjing ada sekitar 100 kata.
Maka tak ada
satu pun bahasa di dunia ini yang bisa menyamai bahasa arab dalam hal kekayaan
perbendaharaannya. Dan dengan bahasa yang lengkap dan abadi itu pulalah agama
Islam disampaoikan dan Al-Quran diturunkan.
5. Arab
Adalah Negeri Tanpa Kemajuan Material Sebelumnya
Seandainya
sebelum turunnya Muhammad SAW bangsa arab sudah maju dari sisi peradaban
materialis, maka bisa jadi orang akan menganggap bahwa Islam hanyalah berfungsi
pada sisi moral saja. Orang akan beranggapan bahwa peradaban Islam hanya
peradaban spritualis yang hanya mengacu kepada sisi ruhaniyah seseorang.
Namun ketika
Islam diturunkan di jazirah arabia yang tidak punya peradaban materialis lalu
tiba-tiba berhasil membangun peradana materialis itu di seluruh dunia, maka
tahulah orang-orang bahwa Islam itu bukanlah makhluq sepotong-sepotong. Mereka
yakin bahwa Islam adalah sebuah ajaran yang multi dimensi. Islam mengandung
masalah materi dan rohani.
Ketika sisi
aqidah dan fikrah bangsa Arab sudah tertanam dengan Islam, ajaran Islam
kemudian mengajak mereka membangun peradaban materialis yang menakjubkan dalam
catatan sejarah manusia. Pusat-pusat peradaban berhasil dibangun bangsa-bangsa
yang masuk Islam dan menjadikan peradaban mereka semakin maju.
Logikanya,
bila di tanah gersang padang pasir itu bisa dibangun peradaban besar dengan
berbekal ajaran Islam, maka tentu membangun peradaban yang sudah ada bukan hal
sulit.
Sumber :