I.
PENDAHULUAN
Segala puji
milik Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah member petunjuk kepada Kita
sehingga kita tetap dan iman dan islam dan semoga ihsan. Sholawat dan salam
semoga terhaturkan kepada junjungan Kita Nabi Muhammad bin Abdillah SAW beserta
keluarga dan para sahabatnya.
A. Pendahuluan
Al Qur'an
adalah firman Allah yang di dalamnya terkandung banyak sekali sisi keajaiban
yang membuktikan fakta ini. Salah satunya adalah fakta bahwa sejumlah kebenaran
ilmiah yang hanya mampu kita ungkap dengan teknologi abad ke-20 ternyata telah
dinyatakan Al Qur'an lebih dari 1.400
tahun lalu. Tetapi, Al Qur'an tentu saja bukanlah kitab ilmu pengetahuan.
Namun, dalam sejumlah ayatnya terdapat banyak fakta ilmiah yang dinyatakan
secara sangat akurat dan benar yang baru dapat ditemukan dengan teknologi abad
ke-20. Fakta-fakta ini belum dapat diketahui di masa Al Qur'an diwahyukan, dan
ini semakin membuktikan bahwa Al Qur'an adalah firman Allah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu
Al-Qur’an, hadits dan ijtihad?
2. Kapan Al-Qur’an
dan Hadits mulai dibukukan?
3. Kapan Ijtihad
muncul?
4. Apa saja yang
masuk dalam kategori ijtihad?
II.
PEMBAHASAN
A. AL-QUR'AN
Al-Qur'an
(ejaan KBBI: Alquran, dalam bahasa Arab قُرْآن) adalah kitab suci agama
Islam. Umat Islam memercayai bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu
Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Ditinjau
dari segi kebahasaan (etimologi), Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang
berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca
berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar)
dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep
pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri
yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya: “Sesungguhnya
mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada
lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya,
hendaklah kamu ikuti bacaannya”.(75:17-75:18)
1. Terminologi
Sebuah cover
dari mushaf Al-Qur'an Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai
berikut: “Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir di
mana membacanya termasuk ibadah”.
Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai
berikut:
"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan
Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan
kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan
ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat
An-Nas" Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai
Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW,
tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi
Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula
firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak
dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.
2. Nama-nama lain
Al-Qur'an
Dalam
Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang
digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama
tersebut dan ayat yang mencantumkannya:
1. Al-Kitab,
QS(2:2),QS (44:2)
2. Al-Furqan
(pembeda benar salah): QS(25:1)
3. Adz-Dzikr (pemberi
peringatan): QS(15:9)
4. Al-Mau'idhah
(pelajaran/nasehat): QS(10:57)
5. Al-Hukm
(peraturan/hukum): QS(13:37)
6. Al-Hikmah
(kebijaksanaan): QS(17:39)
7. Asy-Syifa'
(obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)
8. Al-Huda
(petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)
9. At-Tanzil (yang
diturunkan): QS(26:192)
10. Ar-Rahmat
(karunia): QS(27:77)
11. Ar-Ruh (ruh):
QS(42:52)
12. Al-Bayan
(penerang): QS(3:138)
13. Al-Kalam
(ucapan/firman): QS(9:6)
14. Al-Busyra (kabar
gembira): QS(16:102)
15. An-Nur (cahaya):
QS(4:174)
16. Al-Basha'ir
(pedoman): QS(45:20)
17. Al-Balagh
(penyampaian/kabar) QS(14:52)
18. Al-Qaul
(perkataan/ucapan) QS(28:51)
3. Struktur dan
pembagian Al-Qur'an
Surat, ayat
dan ruku' Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah
(surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang
dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3
ayat yakni surat Al Kautsar dan Al-‘Așr. Total jumlah ayat dalam Al-Qur'an
mencapai 6236 ayat di mana jumlah ini dapat bervariasi menurut pendapat
tertentu namun bukan disebabkan perbedaan isi melainkan karena cara/aturan
menghitung yang diterapkan. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub
bagian lagi yang disebut ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.
4. Makkiyah dan
Madaniyah
Sejarah
Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf Manuskrip dari Al-Andalus abad ke-12
Penurunan Al-Qur'an Dipercayai oleh umat Islam bahwa penurunan Al-Qur'an
terjadi secara berangsur-angsur selama 23 tahun. Oleh para ulama membagi masa
turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah.
Periode Mekkah berlangsung selama 13 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan
surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan
periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun
dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah. Pembagian
berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini lebih tepat,sebab ada surat
Madaniyah yang turun di Mekkah
5. Juz dan manzil
Dalam skema
pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama
yang dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang
ingin menuntaskan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain
yakni manzil memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian dengan tujuan
penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak
memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.
6. Menurut ukuran
surat
Kemudian
dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada didalam Al-Qur’an terbagi
menjadi empat bagian, yaitu: As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang).
Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah
dan Yunus Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu'min dan
sebagainya Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti
Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya Al Mufashshal (surat-surat pendek),
seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya.
7. Penulisan
Al-Qur'an dan perkembangannya
Penulisan
(pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi
Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini
selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.
7.1. Pengumpulan
Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW
Pada masa
ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk
untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah
bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu
tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa
pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana,
potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat
langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.
7.2. Pengumpulan
Al-Qur'an di masa Khulafaur Rasyidin
7.2.1. Pada masa
pemerintahan Abu Bakar
Pada masa
kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal
dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal
Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa
sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk
mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para
sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator
pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an
tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar.
Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut
berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang
oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.
7.2.2. Pada masa
pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa
pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara
pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek
(lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf
standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis
penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah
cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan
standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan
diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil
mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa
depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.
Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang
shahih:
Suwaid bin
Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang
Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al
Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu
tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan
bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu
kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat
agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan
perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'."
Menurut
Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan ini
menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat.
Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam
mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit
Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin
Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar
menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan
ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al
Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan
lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu
ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah
(mushaf al-Imam).
8. Upaya penerjemahan
dan penafsiran Al Qur'an
Upaya-upaya
untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan proses
penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam
berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha
manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli
dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama
dengan Al-Qur'an itu sendiri.
9. Terjemahan
Terjemahan
Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang
tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal
tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an
menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang
bervariasi; terkadang untuk arti hakiki, terkadang pula untuk arti majazi
(kiasan) atau arti dan maksud lainnya.
9.1. Terjemahan dalam
bahasa Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
1.
Al-Qur'an dan Terjemahannya, oleh Departemen
Agama Republik Indonesia, ada dua edisi
revisi, yaitu tahun 1989 dan 2002
2.
Terjemah Al-Qur'an, oleh Prof. Mahmud
Yunus
3.
An-Nur, oleh Prof. T.M. Hasbi
Ash-Siddieqy
4.
Al-Furqan, oleh A.Hassan guru PERSIS
9.2. Terjemahan dalam
bahasa Inggris
1. The Holy Qur'an:
Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali
2. The Meaning of
the Holy Qur'an, oleh Marmaduke Pickthall
9.3. Terjemahan dalam
bahasa daerah Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
1. Qur'an Kejawen
(bahasa Jawa), oleh Kemajuan Islam Jogyakarta
2. Qur'an Suadawiah
(bahasa Sunda)
3. Qur'an bahasa
Sunda oleh K.H. Qomaruddien
4. Al-Ibriz (bahasa
Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang
5. Al-Qur'an Suci
Basa Jawi (bahasa Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad Adnan
6. Al-Amin (bahasa
Sunda)
10. Tafsir
Upaya
penafsiran Al-Qur'an telah berkembang sejak semasa hidupnya Nabi Muhammad, saat
itu para sahabat tinggal menanyakan kepada sang Nabi jika memerlukan penjelasan
atas ayat tertentu. Kemudian setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga saat ini
usaha menggali lebih dalam ayat-ayat Al-Qur'an terus berlanjut. Pendekatan
(metodologi) yang digunakan juga beragam, mulai dari metode analitik, tematik,
hingga perbandingan antar ayat. Corak yang dihasilkan juga beragam, terdapat
tafsir dengan corak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan teologis bahkan
corak ilmiah.
11. Adab Terhadap
Al-Qur'an
Sebelum
menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an, seorang Muslim dianjurkan untuk menyucikan
dirinya terlebih dahulu dengan berwudhu. Hal ini berdasarkan tradisi dan
interpretasi secara literal dari surat Al Waaqi'ah ayat 77 hingga 79.
“Sesungguhnya
Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh),
tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”.
Penghormatan
terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu unsur penting kepercayaan
bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa penghinaan secara sengaja
terhadap Al Qur'an adalah sebuah bentuk penghinaan serius terhadap sesuatu yang
suci. Berdasarkan hukum pada beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim,
hukuman untuk hal ini dapat berupa penjara kurungan dalam waktu yang lama dan
bahkan ada yang menerapkan hukuman mati.
12. Hubungan dengan
kitab-kitab lain
Berkaitan
dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi sebelum
Muhammad SAW dalam agama Islam (Taurat, Zabur, Injil, lembaran Ibrahim),
Al-Qur'an dalam beberapa ayatnya menegaskan posisinya terhadap kitab-kitab
tersebut. Berikut adalah pernyataan Al-Qur'an yang tentunya menjadi doktrin
bagi ummat Islam mengenai hubungan Al-Qur'an dengan kitab-kitab tersebut:
1.
Bahwa Al-Qur'an menuntut kepercayaan ummat
Islam terhadap eksistensi kitab-kitab tersebut. QS(2:4)
2.
Bahwa Al-Qur'an diposisikan sebagai pembenar
dan batu ujian (verifikator) bagi kitab-kitab sebelumnya. QS(5:48)
3.
Bahwa Al-Qur'an menjadi referensi untuk
menghilangkan perselisihan pendapat antara ummat-ummat rasul yang berbeda.
QS(16:63-64)
4.
Bahwa Al-Qur'an meluruskan sejarah. Dalam Al-Qur'an
terdapat cerita-cerita mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai
beberapa bagian mengenai kehidupan para rasul tersebut. Cerita tersebut pada
beberapa aspek penting berbeda dengan versi yang terdapat pada teks-teks lain
yang dimiliki baik oleh Yahudi maupun Kristen.
B. AS-SUNNAH
1.
As-Sunnah dan sinonimnya
1.1. Assunnah
Assunnah secara bahasa diartikan sebagai jalan yang biasa
ditempuh, jalan yang terpuji.[1] Dalam
buku yang lain Assunnah didefinisikan sebagai sesuatu yang berjalan. Secara
istilah Assunnah didefinisikan sebagai segala perbuatan, perkataan, penetapan
dan siroh nabi Muhammad SAW baik sebelum bi’tsah maupun setelah bi’tsah. [2]
1.2. Al-hadits
Menurut bahasa kata hadits memiliki arti;
1) al jadid minal
asyya’ (sesuatu yang baru), lawan dari qodim. Hal ini mencakup sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun
sedikit.
2) Qorib (yang
dekat)
3) Khabar (warta),
yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada
kemungkinan benar atau salahnya.[3]
Dari makna
inilah diambil perkataan hadits Rasulullah saw. Adapun hadits menurut istilah ahli hadits
hampir sama (murodif) dengan sunah, yang
mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul, baik setelah diangkat ataupun sebelumnya. Akan tetapi kalau kita memandang lafadz hadits secara khusus
adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. setelah diangkat menjadi nabi, yang
berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir beliau.
Oleh sebab itu, sunah lebih umum daripada hadits.[4]
Hadis adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi saw, baik
yang berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat [5]
Contoh Jenis dan ragam Hadits :
1.
Hadits yang berupa perkataan ( qaul ), Contoh
: Rasulullah SAW bersabda : “ sesungguhnya
amal-amal itu bergantung pada niatnya” (HR Bukhori Muslim)
2.
Hadits yang berupa perbuatan ( fi’il) :
biasanya berupa penggambaran sahabat
tentang perbuatan Rasulullah, seperti : wudhu Rasulullah, shalat beliau, cara haji, dll.
3.
Ketetapan ( taqrir ), yaitu diam atau
persetujuan Rasulullah SAW saat melihat atau mendengar sesuatu dikerjakan oleh para
sahabat. diantaranya hadits yang
diriwayatkan dari Abu Said AlKhudry, ia berkata : Dua orang keluar bepergian, kemudian datang waktu sholat dan
tidak ada air pada mereka, maka
kemudian mereka bertayammum dengan tanah dan sholat. Kemudian (setelah berjalan lagi) mereka menemukan air
dan masih dalam waktu sholat.
Maka seorang dari mereka mengulang wudhu dan sholatnya, sementara yang lainnya tidak. Kemudian mereka
mendatangi Rasulullah SAW dan
menyebutkan hal tersebut, maka Rasulullah mengatakan pada yang tidak mengulangi sholat dan wudhu : “ engkau
mendapatkan sunnah, dan sholatmu
sah “, dan mengatakan pada yang mengulangi sholat dan wudhu : “ bagimu pahala dua kali “. ( HR Abu Daud &
an-Nasa’i)
4.
Sifat atau Siroh, berupa penggambaran
sifat-sifat Rasulullah SAW, baik secara fisik maupun akhlak. diantaranya hadits : dari
Jabir bin Abdullah ia berkata : Rasulullah
SAW tidak pernah melihatku sejak aku masuk islam kecuali ia senantiasa tersenyum padaku . ( HR Tirmidzi )[6]
1.3. Al-Khobar
Al-Khobar
secara bahasa berarti : an-naba’ atau berita. Secara istilah terdapat tiga pendapat, yaitu :
a.
Khobar sama persis dengan hadits;
b.
hadits khusus berasal dari Rasulullah SAW, sedangkan
khobar yang berasal dari shahabat dan tabi’in;
c.
khobar lebih umum dari hadits, yaitu bisa berasal dari
Rasulullah dan selain Rasulullah SAW. Hal ini didasarkan pada pengertian bahwa
khobar adalah lafadz yang berfaidah yang memuat benar dan salah dengan
sendirinya. Sebagai contoh : jika seseorang menyampaikan berita bahwa seorang
bushman mampu berlari seharian tanpa henti. Berita ini memuat benar dan
salah dengan proporsi yang berimbang sampai ditemukannya dalil yang menyatakan
benar atau salah pada salah satunya.[7]
Khabar adalah segala
sesuatu yang datang dari Nabi saw
ataupun yang lainnya, yaitu shahabat beliau, tabi’in, tabi’ tabi’in, atau
generasi setelahnya.[8]
1.4. Al-Atsar
Al-Atsar
secara bahasa berarti : baqiyyatu asy-syai’ atau sisa/bekas dari sesuatu. Sedangkan secara istilah ada dua pendapat,
masing-masing; ada yang menyatakan artinya
sama persis dengan hadits; ada pula yang menyatakan bahwa atsar adalah apa yang disandarkan dari sahabat dan tabi’in
baik berupa ucapan maupun perbuatan.[9]
2.
As-Sunnah sebagai sumber nilai.
Sunnah
adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah
al-Qur'an. Bagi mereka yang telah beriman kepada al-Qur'an sebagai sumber
hukum, maka secara otomatis harus percaya bahwa sunnah sebagai sumber Islam
juga. Ayat-ayat al-Qur'an cukup banyak untuk dijadikan alasan yang pasti
tentang hal ini, seperti:
a)
Setiap Mu'min harus percaya kepada Allah dan
Rasul-Nya (al-Anfal:20, Muhammad:33, An-Nisa':59, Ali 'Imran:32,
al-Mujadalah:13, an-Nur:54, al-Ma'ida:92).
b)
Kepatuhan kepada Rasul berarti patuh dan cinta
kepada Allah (an-Nisa':80, li
'Imran:31).
c)
Orang-orang yang menyalahi sunnah akan
mendapatkan siksa (al-Anfal:13, al-Mujadalah:5, an-Nisa':115).
d)
Berhukum terhadap sunnah adalah tanda orang
yang beriman (an-Nisa':65).
Kemudian perhatikan ayat-ayat: an-Nur:52, al-Hasyr:4, al-Mujadalah:20,
an-Nisa':64 dan 69, al-Ahzab:36 dan 71, al-Hujurat:1, al-Hasyr:7, dan
sebagainya.
Apabila
sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan
mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam hal: cara shalat, kadar dan ketentuan
zakat, cara haji, dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat al-Qur'an dalam hal
tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara
terperinci justru sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan
kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak, muhtamal,
dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan sunnah untuk menjelaskannnya. Dan
apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan
rasio sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat
subjektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
3.
Hubungan as-Sunnah dan al-Qur'an.
Dalam
hubungan dengan al-Qur'an , maka as-Sunnah berfungsi sebagai penafsir,
pensyarah, penjelas atas ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi
as-Sunnah dalam hubungan dengan al-Qur'an itu adalah sebagai berikut:
a.
Bayan Tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat yang
sangat umum mujmal dan musytarak. Seperti hadits: "Shallukama ra'aitumuni
ushalli" (shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah
merupakan tafsiran dari ayat al-Qur'an yang umum, yaitu:
"Aqimush-shalah" (kerjakan shalat). Demikian pula dengan hadits:
"khudzu 'annimanasikakum" (ambilah dariku perbuatan hajiku) adalah
tafsiran ayat al-Qur'an "Waatimmulhajja" (dan sempurnakan hajimu).
b.
Bayan Taqrir, yaitu as-Sunnah yang berfungsi
untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur'an, seperti hadits yang
berbunyi: "Shaumul liru'yatihi wafthiruliru'yatihi" (berpuasalah
karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat al-Qur'an
dalam surat al-Baqarah:185.
c.
Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan
tujuan sesuatu ayat al-Qu r'an, seperti pernyataan Nabi: "Allah tidak
mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah
dizakati" adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat al-Qur'an dalam surat
at-Taubah:34 yang berbunyi sebagai berikut: "Dan orang-orang yang
menyimpan mas dan perak yang kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah
maka gembirakanlah mereka dengan azab yang sangat pedih". Pada waktu ayat
ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah
ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits
tersebut.
4.
Perbedaan antara al-Qur'an dan al-Hadits
sebagai sumber hukum.
Sekalipun
al-Qur'an dan as-Sunnah/al-Hadits sebagai sumber hukum Islam namun di antara
keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil. Perbedaan-perbedaan
tersebut antara lain:
a.
al-Qur'an nilai kebenarannya adalah qath'i
(absolut), sedangkan al-Hadits adalah zhanni (kecuali hadits mutawatir).
b.
Seluruh ayat al-Qur'an mesti dijadikan sebagai
pedoman hidup, tetapi tidak semua hadits kita jadikan sebagai pedoman hidup.
Sebab di samping ada sunnah yang tasyri' ada juga sunnah yang ghairu tasyri'.
Di samping ada hadits yang shahih (kuat) ada pula hadits yang dha'if
(lemah),dan seterusnya.
c.
Al-Qur'an sudah pasti otentik lafazh dan
maknanya, sedangkan hadits tidak.
d.
Apabila al-Qur'an berbicara tentang
masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib maka setiap Muslim wajib
mengimaninya, tetapi tidak demikian apabila masalah-masalah tersebut
diungkapkan oleh hadits (ada yang wajib diimani dan ada yang tidak).
5.
Penulisan dan Pembukuan Hadits
5.1. Penulisan Hadits
Pada masa
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tulis-menulis sudah tersebar luas, dimana Al-Qur’an
sendiri menganjurkan untuk belajar dan membaca, dan Rasulullah sendiri
mengangkat para penulis wahyu jumlahnya mencapai 40 orang. Nama-nama mereka
disebut dalam kitab “At-Taratib Al-Idariyah”. Bahkan Baladzuri dalam kitab
“Futuhul Buldan” menyebutkan adanya sejumlah penulis wanita, diantara mereka:
ummul mukminin Hafshah, Ummu Kultsum binti Uqbah, Asy-Syifa’ binti Abdullah
Al-Qurasyiyah, Aisyah binti Sa’ad, Karimah binti Al-Miqdad.
Para penulis
semakin banyak di Madinah setelah hijrah, setelah perang Badar. Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh Abdullah bin Sa’id bin Ash agar mengajar
menulis di Madinah. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa nama asli Abdullah bin Said
bin Al-Ash adalah Al-Hakam, lalu Rasulullah memberinya nama dengan Abdullah,
lalu menyuruhnya agar mengajar menulis di Madinah.
Ada beberapa
nash yang bertentangan dalam hal penulisan hadits. Sebagian menunjukkan adanya
larangan penulisan, dan sebagian lain membolehkan adanya penulisan hadits.
a.
Riwayat yang melarang penulisan hadits
- Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
datang kepada kami dan sedangkan kami menulis hadits. Lalu beliau shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apa yang sedang kalian tulis?’ Kami menjawab,
‘hadits-hadits yang kami dengar dari engkau.’ Beliau berkata, ‘Apakah kalian
menghendaki kitab selain Kitabullah? Tidaklah sesat umat sebelum kalian
melainkan karena mereka menulis dari kitab-kitab selain Kitabullah.’”
(Diriwayatkan dari Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Taqyidul Ilmi)
b.
Riwayat yang membolehkan penulisan hadits
- Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tiada seorang pun dari sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam yang lebih banyak haditnya dariku kecuali Abdullah
bin Amru Al-Ash karena dia menulis sedangkan aku tidak menulis.” (HR. Bukhari)
- Dari Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, ‘Ikatlah ilmu dengan buku.’” (Diriwayatkan Al-Khatib dalam Taqyidul
Ilmi)
Atas
dasar perbedaan nash inilah para ulama berselisih pendapat dalam penulisan
hadits. Ibnu Shalah berkata, “Para ulama berselisih pendapat dalam penulisan
hadits, sebagian diantara mereka melarang penulisan hadits dan ilmu, serta
menyuruh untuk menghafalnya. Sedangkan sebagian yang lain membolehkannya.”
Mereka
yang melarang penulisan hadits adalah Umar, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abu
Musa, Abu Sa’id Al-Khudri, dan sekelompok lainnya dari kalangan sahabat dan
tabi’in.
Sedangkan
yang membolehkan penulisan hadits adalah Ali, Hasan bin Ali, Anas, Abdullah bin
Amru Al-Ash.
Para
ulama telah memadukan dua pendapat yang berselisih antara mereka yang melarang
dan membolehkan penulisan hadits sebagai berikut:
1.
Larangan penulisan terjadi pada awal masa
perkembangan Islam sehingga dikhawatirkan akan terjadi percampuran dan
penggabungan antara hadits dan Al-Qur’an. Ketika keadaan telah aman dan
kondusif, serta jumlah penghafal Al-Qur’an telah banyak, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mengizinkan untuk menulis hadits, dan larangan sebelumnya
mnejadi mansukh (terhapus).
2.
Larangan hanya khusus pada penulisan hadits
bersamaan dengan Al-Qur’an dalam satu lembar atau shahifah, karena khawatir
terjadi kemiripan atau kesamaan.
3.
Larangan hanya bagi orang yang diyakini mampu
menghafalnya karena dikhawatirkan akan bergantung pada tulisan, sedangkan
diperbolehkan penulisan hanya bagi orang yang diyakini tidak mampu dalam
menghafalnya.
Dan
tidak diragukan lagi bahwa adanya perbedaan ini hanyalah terjadi pada masa awal
saja, kemudian ijma’ kamu muslimin sepakat membolehkan penulisan tersebut. Ibnu
Ash-Shalah berkata, “Lalu hilanglah perbedaan, dan kaum muslimin sepakat untuk
membolehkannya. Kalaulah tidak dibukukan dalam bentuk tulisan, tentu hadits itu
akan lenyap pada masa-masa berikutnya.”
5.2.
Pembukuan Hadits
Pembukuan
berbeda dengan penulisan. Seseorang yang menulis sebuah shahifah (lembaran)
atau lebih disebut dengan penulisan. Sedangkan pembukuan adalah mengumpulkan
lembaran-lembaran yang sudah tertulis dan yang dihafal, lalu menyusunnya
sehingga menjadi sebuah buku.
Upaya
untuk mengumpulkan dan membukukan hadits telah dilakukan pertama kali oleh
Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hal-hal yang mendorong untuk melakukan
pengumpulan dan pembukuan adalah:
1.
Tidak adanya larangan pembukuan, sedangkan
Al-Qur’an telah dihafal oleh ribuan orang, dan telah dikumpulkan serta
dibukukan pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Dengan demikian dapat dibedakan
dengan jelas antara Al-Qur’an dengan hadits.
2.
Kekhawatiran akan hilangnya hadits karena
ingatan kuat yang menjadi kelebihan orang Arab semakin melemah, sedangkan para
ulama telah menyebar dibeberapa penjuru negeri Islam setelah terjadi perluasan
kekuasaan negeri Islam.
3.
Munculnya pemalsuan hadits akibat perselisihan
politik dan madzhab setelah terjadinya fitnah, dan terpecahnya kaum muslimin
menjadi pengikut Ali dan pengikut Mu’awiyah, serta Khawarij yang keluar dari
keduanya. Masing-masing golongan berusaha memperkuat madzhab-nya dengan cara
menafsirkan Al-Qur’an dengan makna yang bukan sebenarnya.
Akan
tetapi, upaya pengumpulan ini belum menyeluruh dan sempurna karena Umar bin
Abdul Aziz wafat sebelum Abu Bakar bin Hazm mengirimkan hasil pembukuan hadits
kepadanya. Para ahli hadits memandang bahwa upaya Umar bin Abdul Aziz merupakan
langkah awal dari pembukuan hadits. Mereka mengatakan, “Pembukuan hadits ini
terjadi pada penghujung tahun ke 100 pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz
atas perintahnya.”
Adapun
upaya pembukuan yang sebenarnya dan menyeluruh dilakukan oleh Imam Muhammad bin
Syihab Az-Zuhri yang menyambut seruan Umar bin Abdul Aziz dengan tulus yang
didasari karena kecintaan pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan keinginannya untuk melakukan pengumpulan.
Pembukuan
hadits pada mulanya belum disusun secara sistematis dan tidak berdasarkan pada
urutaan bab-bab pembahasan ilmu. Upaya pembukuan ini kemudian banyak dilakukan
oleh ulama-ulama setelah Az-Zuhri dengan metode yang berbeda-beda. Kemudian
para ulama hadits menyusunnya secara sistematis dengan menggunakan metode
berdasarkan sanad dan berdasarkan bab.
Ibnu
Hajar berkata, “Orang yang pertama melakukan demikian itu adalah Ar-Rabi’ bin
Shubaih (wafat 16 H) dan Said bin Abi Arubah (wafat 156 H) hingga kepada para
ulama thabaqah (lapisan) ketiga (dari kalangan tabi’in). Imam Malik menyusun
Al-Muwatha’ di Madinah, Abdullah bin Juraij di Makkah, Al-Auza’I di Syam,
Sufyan At-Tsauri di Kufah, Hamad bin Salamah bin Dinar di Basrah.”
Buku-buku
yang ditulis pada masa itu dan kini sudah dicetak antara lain:
a.
Al-Muwatha’ karya Imam Malik bin Anas
b.
Al-Mushannaf karya Abdurrazaq bin Hammam
Ash-Shan’ani
c.
As-Sunan karya Said bin Mansur
d.
Al-Mushannaf karya Abu Bakar bin Abu Syaibah
Karya-karya
tersebut tidak hanya terbatas pada kumpulan hadits-hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi bercampur antara hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, perkataan para sahabat, dan fatwa para tabi’in.
Kemudian ulama pada periode berikutnya memisahkan pembukuan hanya pada hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja.
C. IJTIHAD
Ijtihad
(Arab: اجتهاد)
adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan
oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara
yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal
sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan
bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.
Tujuan
ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam
beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
Dasar
disyariatkannya ijtihad adalah :
1.
Fungsi Ijtihad
Meski
Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal
dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain
itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern.
Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan
aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama
sehari-hari.
Jika
terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau
di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang
dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al
Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan
yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika
persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada
ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam
memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka
yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
2.
Jenis-jenis ijtihad
2.1. Ijma'
Adalah keputusan
bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan
dan disepakati.
Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama
yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
Adapun ijma’
dilihat dari cara perolehannya terbagi menjadi dua, yaitu:
1.
Ijma’ shahih, yaitu kesepakatan para mujtahid
suatu masa terhadap sesuatu yang baru
2.
Ijma’ sukuty, yaitu kesepakatan para mujtahid
suatu masa terhadap sesutau yang baru dimana sebagian berpendapat dengan
pendapat yang jelas sementara yang lainnya tidak berpendapat namun
melakukannya.[10]
2.2. Qiyâs
Beberapa definisi qiyâs' (analogi)
1.
Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju
kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya.
2.
Membuktikan hukum definitif untuk yang
definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya.
3.
Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada
penjelasan di dalam Al-Qur'an atau Hadis dengan kasus baru yang memiliki
persamaan sebab (ilat).
Perbedaan di
atas menunjukkan bahwa qiyas masih dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : qiyas
‘illat, qiyas sibh, dan qiyas aula
2.3. Istihsân
Beberapa definisi Istihsân
1.
Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih
(ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
2.
Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa
bisa diekspresikan secara lisan olehnya.
3.
Mengganti argumen dengan fakta yang dapat
diterima, untuk maslahat orang banyak.
4.
Tindakan memutuskan suatu perkara untuk
mencegah kemudharatan.
5.
Tindakan menganalogikan suatu perkara di
masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.
2.4. Mushalat
murshalah
Adalah
tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan
kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan
menghindari kemudharatan.
2.5. Sududz Dzariah
Adalah
tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn
umat.
2.6. Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang
bisa mengubahnya.
2.7. Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan
masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan
aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.
3.
D.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
c.
Dasar hukum islam mencakup tiga hal, yaitu :
Al-Quran, As-Sunnah dan Ijtihad
d.
Al-Quran merupakan kitab suci yang merevisi
kitab-kitab suci sebelumnya dan bersifat absolute
e.
Al-quran pertama kali dibukukan pada masa
khilafah Abu Bakar Shiddiq dan dilakukan standarisasi pada masa khilafah Utsman
bin Affan
f.
Hal-hal yang kurang jelas dalam al-quran
dijelaskan oleh as-sunnah dan ijtihad
g.
As-Sunnah merupakan semua hal yan berkaitan
dengan Rasulullah dan para sahabatnya (perkataan, perbuatan, penetapan dan
sifat-sifat).
h.
Assunnah mulai dibukukan pada abad II
Hijriyyah.
i.
Ijtihad diperlukan untuk menjawab tantangan
masa terkait perkembangan masalah yang terjadi.
j.
Ijtihad dapat dibagi menjadi : Ijma’, qiyas,
istihsan, musholat murshalah, Sududz Dzariah, Istishab, dan urf.
k.
Apapun wujud produk ijtihadnya, selama tidak
bertentangan dengan al-quran dan hadits dapat dilaksanakan.
2.
Daftar Pustaka
1.
Abdul Wahab Khollaf. Ushul Fiqh.
Cetakan ke-8. Juz 1
2.
Hatta Syamsudin, Lc. Modul ulumul Hadits (1).
3.
Amru Abdul Mun’in Salim. Tarjamah Taisiri
Ulumul Hadits. Maktabah Ibnu Taymiyyah. Kairo. 1997.
4.
Abdul Hamid Hakim. Assulam. Maktabah
Assa’diyyah Putra.
5.
http://muxlim.com/blogs/belajarislam/penulisan-dan-pembukuan-hadits-nabi-
[1] Abdul
Hamid Hakim. Assulam. Maktabah Assa’diyyah Putra. Hlm 48
[2] Hatta
Syamsudin, Lc. Modul ulumul Hadits (1). Hlm 14
[5] Amru
Abdul Mun’in Salim. Tarjamah Taisiri Ulumul Hadits. Maktabah Ibnu
Taymiyyah. Kairo. 1997. Hlm 11
[7] Hatta
Syamsudin, Lc. Modul ulumul Hadits (1). Hlm 15
[8] Amru
Abdul Mun’in Salim. Tarjamah Taisiri Ulumul Hadits. Maktabah Ibnu
Taymiyyah. Kairo. 1997. Hlm 11
[9] Hatta
Syamsudin, Lc. Modul ulumul Hadits (1). Hlm 15
[10] Abdul Wahab Khollaf. Ushul Fiqh. Cetakan ke-8. Juz 1. Hlm.
51