I.
PENDAHULUAN
Budi Pekerti berarti sikap dan prilaku yang
baik. Sifat-sifat yang baik akan mendatangkan kebaikan dan sebaliknya hal yang
buruk akan menghasilkan keburukan pula. Oleh karena itu kita perlu menjunjung
tinggi nilai budi pekerti yang luhur. Ajaran budi pekerti menuntut kita agar
selalu berbuat kebaikan, kebenaran, serta memupuk keharmonisan hubungan manusia dengan tuhan, manusia dengan
manusia, dan manusia dengan lingkungan, yang sering disebut dengan konsep tri
hita karana. Salah satu bagian dari konsep tri hita karana adalah hubungan
manusia dengan manusia. Hal ini sangat perlu dilakukan oleh umat manusia,
karena manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan adanya
hubungan dengan manusia lainnya, hal ini dilakukan bertujuan untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka dari itu sangat perlu usaha manusia untuk
mewujudkan hubungan yang harmonis antar umat manusia. Salah satu caranya yaitu mengembangkan sikap
Toleransi, Etika pergaulan.[1]
Kita sering terperangkap dengan jebakan
“toleransi antar umat beragama”, yang diartikan dengan mencampuradukkan ritual
keagamaan. Bila kaum Nasrani natalan, kitapun dianjurkan mengikutinya. Padahal
sikap ini merupakan pengkhianatan terhadap keimanan dan ritual kita.
Makna toleransi yang sebenarnya bukanlah
mencampuradukkan keimanan dan ritual Islam dengan
agama non Islam, tapi menghargai eksistensi agama orang lain. Toleransi adalah
istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang
melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau
tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah
toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat
mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya[2]. Kata toleransi sebenarnya bukanlah bahasa
“asli” Indonesia, tetapi serapan dari bahasa Inggris “tolerance”, yang
definisinya juga tidak jauh berbeda dengan kata toleransi/toleran. Menurut
Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English, toleransi adalah
quality of tolerating opinions, beliefs, customs, behaviors, etc, different
from one’s own[3]. Adapun dalam bahasa
Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai padanan dari kata toleransi
adalah سماحة
atau تسامح.
Kata ini pada dasarnya berarti al-jûd (kemuliaan). atau sa’at al-shadr (lapang
dada) dan tasâhul (ramah, suka memaafkan). Makna ini selanjutnya berkembang menjadi
sikap lapang dada/ terbuka (welcome) dalam menghadapi perbedaan yang bersumber
dari kepribadian yang mulia[4].
Kita tidak dilarang melakukan kerjasama
dengan non muslim dalam hal-hal yang berkaitan dnegan hal-hal dunia, misalnya
hubungan bisnis ataupun studi. Bahkan ada ayat yang memerintahkan agar kita
berlaku adil kepada siapa pun, termasuk kepada non muslim. Yakni :
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku
tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.
Al-Maidah : 8)
Jadi, saat berinteraksi dengan non muslim,
prinsip-prinsip toleransi, keadilan, dan kebenaran harus kita tegakkan. Namun
untuk urusan yang berkaitan dengan kayakinan dan peribadatan, kita mengambil
garis yang jelas dan tegas.
II.
PEMBAHASAN
Di dalam Islam, juga dikenal istilah toleransi. Toleransi (tasamuh) di
dalam Islam hanya berkenaan dengan masalah–masalah duniawiyyah/masalah
kemasyarakatan di dunia saja. Sedangkan dalam masalah i’tiqad/aqidah Islamiyyah
juga dalam masalah syari’ah tidak diketemukan toleransi di dalamnya. Semua
sudah terbingkai rapi dan teratur di dalam satu aturan/perundang–undangan yang
berasal langsung dari Allah (Tuhan Segala makhluk) dengan sistem aturan dari
‘langit’.
Banyak orang yang tidak tahu apa–apa tentang ad-din (agama) ini dan berkata
: “ayat toleransi dalam Islam adalah surat Al Kaafiruun ayat 6, ya’ni,
untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.”
Dengan kejahilan (kebodohan) mereka, mereka menjadikan Al Kaafiruun : 6
sebagai dalil toleransi antar ummat beragama. Padahal, dari sebab–sebab
turunnya ayat itu (asbabun nuzul) sendiri sudah terlihat bahwa Rasulullah وزTIDAK MAU BERTOLERANSI dalam
masalah aqidah.
Coba perhatikan asbabunnuzulnya:
سورة
الكافرون مكية [5] بسم الله الرحمن الرحيم { قُلْ
يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلا أَنْتُمْ
عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) } { قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ } إلى آخر
السورة.
نزلت في رهط من قريش منهم: الحارث بن قيس السهمي، والعاص بن وائل، والوليد بن
المغيرة، [والأسود] [6]
بن عبد يغوث، والأسود بن المطلب بن أسد، 202/ب وأمية بن خلف، قالوا: يا محمد
[هلمَّ فاتبعْ] [7]
ديننا ونتبع دينك ونشركُك في أمرنا كلِّه، تعبد آلهتنا سنة ونعبد إلهك سنة، فإن
كان الذي جئت به خيرًا كنا قد شركناك فيه وأخذنا حظَّنا منه، وإن كان الذي بأيدينا
خيرًا كنت قد شركتنا في أمرنا وأخذت بحظك منه، فقال: معاذ الله أن أشرك به غيره،
قالوا: فاستلم بعض آلهتنا نصدقك ونعبد إلهك، فقال: حتى أنظر ما يأتي من عند ربي،
فأنزل الله عز وجل: "قل يا أيها الكافرون" إلى آخر السورة، فَغَدَا رسول
الله صلى الله عليه وسلم إلى المسجد الحرام وفيه الملاء من قريش، فقام على رءوسهم
ثم قرأها عليهم حتى فرغ من السورة، فأيسوا منه عند ذلك وآذوه وأصحابه [8] . ومعنى
الآية: { لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ } في الحال { وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا
أَعْبُدُ } في الحال،
وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)
وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)
{ وَلا أَنَا
عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ
دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6) }
{ وَلا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ } في الاستقبال، { وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ } في الاستقبال [9].
{ وَلا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ } في الاستقبال، { وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ } في الاستقبال [9].
وهذا خطاب لمن سبق في علم الله أنهم لا يؤمنون.
وقوله: " [ما] [10] أعبد"
أي: مَنْ أعبد، لكنه ذكره لمقابلة: "ما تعبدون".
ووجه التكرار: قال أكثر أهل المعاني: هو أن القرآن نزل بلسان العرب، وعلى مجاز خطابهم، ومن مذاهبهم التكرار، إرادة التوكيد والإفهام كما أن من مذاهبهم الاختصار إرادة التخفيف والإيجاز.
وقال القتيبي: تكرار الكلام لتكرار الوقت، وذلك أنهم قالوا: إن سرَّك أن ندخل في دينك عامًا فادخل في ديننا عامًا، فنزلت هذه السورة. { لَكُمْ دِينَكُمْ } الشرك { وَلِيَ دِينِ } [11] الإسلام، قرأ ابن كثير، ونافع، وحفص: "ولي" بفتح الياء، قرأ الآخرون بإسكانها. [وهذه الآية منسوخة بآية السيف] [12].[13]
ووجه التكرار: قال أكثر أهل المعاني: هو أن القرآن نزل بلسان العرب، وعلى مجاز خطابهم، ومن مذاهبهم التكرار، إرادة التوكيد والإفهام كما أن من مذاهبهم الاختصار إرادة التخفيف والإيجاز.
وقال القتيبي: تكرار الكلام لتكرار الوقت، وذلك أنهم قالوا: إن سرَّك أن ندخل في دينك عامًا فادخل في ديننا عامًا، فنزلت هذه السورة. { لَكُمْ دِينَكُمْ } الشرك { وَلِيَ دِينِ } [11] الإسلام، قرأ ابن كثير، ونافع، وحفص: "ولي" بفتح الياء، قرأ الآخرون بإسكانها. [وهذه الآية منسوخة بآية السيف] [12].[13]
Sangat jelaslah dari
asbabunnuzul tersebut bahwa surat Al-Kafirun diturunkan untuk menanggapi bujuk rayu para dedengkot kafir Quraisy diantaranya : Haris bin Qois Assahmy, Al-'Ashi
bin Wa-il, Al-Walid bin Al-Mughirah, Al-Aswad
bin Abdu Yaguts, Al-Aswad bin Muthalib dan Umayyah bin Khalaf yang menemui Rasulullah saw dan berkata: "Wahai Muhammad! Mari kita bersama
- sama menyembah apa yang kami sembah dan kami akan menyembah apa yang engkau
sembah dan kita bersekutu dalam segala hal dan engkaulah pemimpin kami."
Lalu para kafir itu pun menjanjikan beberapa imbalan seperti harta yang
berlimpah, sehingga akan membuat Rasulullah SAW menjadi lelaki yang terkaya di
kota Makkah, juga mereka (kafir Quraisy) akan menikahkannya dengan wanita –
wanita yang cantik. Lalu mereka berkata :
“Semuanya itu adalah untukmu, hai
Muhammad, asal kamu cegah dirimu dari mencaci maki tuhan-tuhan kami dan jangan
pula kamu menyebut-nyebutnya dengan sebutan yang buruk. Jika kamu tidak mau,
maka sembahlah tuhan-tuhan kami selama setahun dan kami akan mengikuti pula
agamamu selama setahun.”
Tapi, apa jawab orang yang Allah telah pilih menjadi kekasih-Nya itu,
“"Tunggulah sampai ada wahyu yang turun kepadaku dari Robbku." Lalu
seketika itu, Allah Jalla JalalluHu menurunkan firman-Nya :
Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang
kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak
pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula)
menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku." (Al Kaafiruun : 1-6)
Lalu Allah menurunkan firman-Nya lagi,
Katakanlah: "Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai
orang-orang yang tidak berpengetahuan?" (Az Zumar : 64)
Setelah mendengar keterangan itu, lalu pergilah mereka dengan tangan hampa
dan dalam keadaan hina dina.
Jadi sangatlah jelas bahwa Allah ‘Azza wa Jalla melarang Rasul-Nya untuk
bertoleransi dalam masalah aqidah dan syari’ah kepada orang kafir bahkan di
ayat itu juga, secara tidak langsung Allah melalui Nabi-Nya menyuruh ummatnya
agar menyebut mereka (yang bukan Islam) dengan sebutan Kafir (orang yang ingkar
kepada Allah). Tidak pernah Allah menyebut mereka ataupun orang semacam mereka
dengan sebutan “Yaa Ayyuha Ghoirul Muslimuun (Wahai, orang–orang non-Islam)”,
tapi Allah menyebut mereka dengan sebutan “Yaa Ayyuhal Kaafiruun (Wahai, orang–orang
kafir). Meskipun agak terdengar kasar (bagi orang Indonesia) tetapi itulah
sebutan langsung dari Allah ‘Azza wa Jalla untuk mereka, dan kita wajib
mengikutinya. Tidak oleh membantahnya. Hal itu semata–mata hanya untuk
menyatakan bahwa Islam tidak bisa bertoleransi dalam hal aqidah.
Dan ayat ‘Lakum Diinukum WaLiyadiin’ BUKANLAH ayat toleransi, melainkan
ayat PENEGASAN untuk TIDAK mengikuti apa–apa yang orang kafir suruh kepada kita
ummat Islam. Disinilah banyak yang salah kaprah.
2.1. Toleransi Saat Ini
Sebetulnya, tidak ada bedanya antara toleransi ummat beragama zaman ini
dengan toleransi ummat beragama zaman dulu (ya’ni zaman Nabi SAW dan para
Shahabatnya RA), dimana toleransi itu hanya sebatas mu’amalah duniawiyyah saja.
Bahkan, jika dilihat kenyataannya saat ini kaum Kafir tidak ada sikap
toleransinya sama sekali terhadap kaum Muslimin. Bahkan masalah duniapun mereka
memusuhi ummat yang telah dibangun atas dasar tauhid ini.
Telah benarlah firman Allah Tabaroka wa Ta’Ala :
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu
mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah
petunjuk (yang benar).’ Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka
setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung
dan penolong bagimu.” (Al Baqarah : 120)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang
menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh telah Kami
terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (Ali Imran : 118)
Berdasarkan ayat di atas maka toleransi
harus diberdayakan terhadap siapapun selama mereka :
1.
Tidak menimbulkan madharat kepada kita (baik duniawy maupun ukhrawy);
2.
Tidak merasa bahagia dengan derita dan kesusahan yang menimpa kita;
3.
Jelas menyatakan benci kepada kita.
Dari Shahabat Abu Hurairah ra; Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya akan
datang kepada manusia tahun-tahun penuh penipuan, dimana PENDUSTA
DIBENARKAN, sedangkan ORANG JUJUR DIDUSTAKAN, PENGKHIANAT
DIPERCAYA, sedangkan ORANG AMANAT DIANGGAP PENGKHIANAT,
Pada masa itu Ruwaibidhah berbicara.” Beliau saw ditanya : “Apakah Ruwaibidhah
itu wahai Rasulullah ? Beliau saw bersabda : “Orang bodoh yang berbicara
tentang persoalan (masalah) yang banyak.”[14]
Jadi, toleransi kaum kafir terhadap kaum Muslim hanyalah isapan jempol
semata. Mereka memusuhi kaum Muslim dengan permusuhan yang besar. Bahkan sampai–sampai,
mereka mampu membuat lidah saudara–saudara kita (yang awam) latah (ikut–ikutan)
menyebut saudara/saudarinya sebagai ‘teroris’. Dan sampai sekarang pun, apa dan
siapa yang disebut ‘teroris’, itu masih belum jelas.
2.2. Islam Tidak Memaksa
Islam sendiri tidak pernah memaksa orang lain untuk masuk ke dalam Islam, sebagaimana :
tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut[15]
dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul
tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.(Al-Baqoroh: 256)
Islam tidak mengenal paksaan, karena paksaan hanya melahirkan ketidak setiaan
bahkan ketidak ikhlasan, oleh karena itu Islam hanya mengenal ajakan. Ajakan
kepada Islam adalah dakwah Islamiyyah yang mengajak manusia yang masih
berkubang di dalam lumpur kejahiliyahan (kebodohan/ketidakpahaman masalah
ad-din) ke dalam cahaya yang terang benderang. Oleh karena itu al-Islam juga
bermakna yang membedakan antara yang Haq (Jalan yang Benar) dengan yang Bathil
(Jalan yang Sesat).
serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[16][845]
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk. (Annahl:125)
Di dalam membedakan antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat/bathil,
Islam tidak mengenal kompromi apalagi toleransi, karena itu menyangkut hal yang
prinsip (aqidah). Jadi, inti dari ayat ‘tidak ada paksaan dalam Islam’ itu
tidak ada hubungannya dengan kompromi atau toleransi dengan kekafiran dan
kemaksiyatan. Tiap–tiap yang mengaku ummat Islam wajib menyebarkan ajaran Islam
ke seluruh penjuru dunia guna menancapkan kemuliaan Islam yang didasari dengan
akhlak dan prinsip (aqidah) yang baik.
Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika
tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari
(gangguan) manusia[17].
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.(Al-Maidah:67)
2.3. Toleransi Yang Dinginkan si Kafir
Orang–orang kafir menginginkan agar kita sebagai ummat Islam mau mengikuti
tata cara mereka sebagai salah satu toleransi/loyalitas pada mereka. Padahal
Islam sangat melarang berloyalitas pada kaum Kafir karena loyalitas yang
dilakukan akan menimbulkan al-Muwaalaah (kecintaan) pada si kafir, jika sudah
cinta, maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
Mereka ingin
supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu
menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka
penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika
mereka berpaling[18],
tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu
ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi
penolong. (An Nisaa’ : 89)
Kita dilarang menjadi penolong dalam agama–agama mereka. Seperti, mereka
menginginkan kita ikut serta dalam perayaan hari raya mereka. Mereka juga menginginkan
kita mensahkan apa–apa yang mereka lakukan, seperti minum khomr, makan daging–daging
yang haram (anjing, babi, dsb), membuat rumah ibadah mereka, berzina, pacaran,
mengghibah, dan lainnya. Yang pada akhirnya, mereka menyuruh agar kita
menghargai pemurtadan yang mereka lakukan.
Maka dari itu, kita harus mempunyai sikap al-Mu’aadaah (membenci). Membenci
siapa yang dimaksud?. Membenci apapun yang bertentangan dengan hukum Qur’an dan
Sunnah, membenci siapapun yang membenci Allah dan Rosul-Nya, membenci apa–apa
yang selain Allah dan membenci karena Allah.
عن أبي أمامة ، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : " من
أحب لله وأبغض لله وأعطى لله ومنع لله فقد استكمل الإيمان(رواه أبو داود) .
Dari Abi Umamah dari Nabi Muhammad ز : Beliau ز pernah bersabda : “Siapa saja yang mencintai karena Allah
dan membenci karena Allah, memberi karena Allah dan melarang karena Allah, maka
sesungguhnya ia telah menyempurnakan imannya.”[19]
(HR. Abu Daud, dishohihkan oleh Al Abani)
Dan siapa saja yang mencintai tidak karena Allah dan membenci tidak karena Allah,
bahkan dia membenci Allah, Rosul dan penganut agama-Nya, maka ia telah Kafir.
Atau membenci Allah saja maka ia sudah Kafir. Atau membenci Rosul-Nya saja maka
ia juga Kafir, atau membenci penganut agama-Nya saja, maka ia juga telah Kafir.
Jadi pada intinya, orang–orang kafir menginginkan kita bertoleransi
terhadap mereka dengan cara, kita (kaum Muslimin) harus :
1.
Mengikuti
perayaan hari besar/raya mereka, seperti ; Natal bersama, Nyepi bersama, Paskah
bersama, perayaan hari valentine, perayaan malam tahun baru serta ikut serta
dalam pembuatan/memeriahkan hari besar mereka.
2.
Mensahkan
pendirian bangunan ibadah mereka, seperti Gereja, Pura, Wihara, dan tempat
tempat penyembahan berhala lainnya yang dibangun di tengah–tengah komunitas
kaum Muslimin.
3.
Mengikuti
atau membenarkan apa–apa yang mereka lakukan, seperti ibadahnya mereka, minum–minuman
haramnya mereka, pemurtadan yang mereka lakukan, dll.
4.
Menampakkan
kebahagiaan/kesenangan jika hari raya mereka tiba.
Kesemuanya itu adalah HARAM dilakukan oleh ummat Islam, bahkan tidak boleh
terlintas di dalam hati ummat Islam sedikitpun.
Dari Abu Sa'id al-Khudry bahwasanya Rasulullah ز bersabda: "Sungguh kalian akan mengikuti
sunnah (cara/metode) orang-orang sebelum kamu, sejengkal-demi sejengkal,
sehasta demi sehasta, sehingga andaikata mereka menelusuri/masuk ke lubang
biawak, niscaya kalian akan masuk ke dalamnya juga. Para Shahabat ؤرbertanya : "Wahai
Rasulullah! Apakah (mereka itu) orang-orang Yahudi dan Nashrani?". Beliau وز bersabda: "Siapa lagi (kalau bukan mereka).” (HR. Bukhari)[20]
2.4. Islam Melarang Mengambil Orang–Orang Kafir Sebagai
Teman
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu), sebahagian mereka adalah
pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zholim."
(Al Maa’idah: 51)
Ibnu Hazm telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa loyal
(wala’) pada orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan.[21]
Bahkan, Imam Hasan bin Muhammad bin Asshobah telah meriwayatkan dari
Muhammad bin Sirin, dia berkata: Abdullah bin 'Utbah berkata, "hendaknya
salah seorang mereka berhati-hati agar tidak menjadi Yahudi dan Nashrani tanpa
disadarinya, Beliau menduga bahwa itu yang dikehendaki ayat ini."[22]
Islam melarang kita menjadikan orang–orang kafir dan musyrik sebagai
pemimpin, karena dikhawatirkan bahkan diyakini bahwa mereka akan memimpin
dengan kekafiran, kemaksiyatan dan kebodohannya. Islam juga melarang mengambil
mereka sebagai teman dekat (shahabat), dikhawatirkan dia (si kafir) akan menjerumuskan
kita ke dalam kekafirannya.
Rasulullah ز pernah
berpesan : “Seseorang itu tergantung agama temannya. Maka hendaknya salah
seorang dari kalian melihat siapa temannya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)[23].
Di hadist tersebut Nabi ز memberikan
pesan yang tersirat, bahwa kita harus mengambil orang Mukmin saja sebagai
teman.
Bahkan orang–orang Muslim yang mengambil orang–orang kafir sebagai teman,
diancam oleh Allah dengan siksaan yang pedih,
“Kabarkanlah
kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih,” (An
Nisaa’ : 138)
2.5. Siapa yang dimaksud dengan orang–orang munafik ?
“(ya’ni) orang-orang yang mengambil orang-orang
kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua
kekuatan kepunyaan Allah.” (An Nisaa’ : 139)
Akan tetapi, Islam membolehkan kita berbuat adil terhadap orang kafir,
dengan catatan ; si kafir tersebut TIDAK MEMERANGI DAN MEMBENCI KAUM
MUSLIMIN.
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang TIDAK MEMERANGIMU karena agama
dan TIDAK JUGA MENGUSIR KAMU dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil.” (Al Mumtahanah : 8)
Jika si kafir tidak memerangi dan membenci kaum Muslimin karena agama juga
tidak mengusir kita dari negeri kita (tidak menjajah). Maka kita boleh berbuat
adil kepada mereka (ya’ni, memberikan hak–haknya). Berbuat adil disini bukan
berarti loyal (mencintai serta menjadi penolong) terhadap mereka. Tetap, kita
tidak boleh bertoleransi dalam hal aqidah. Tetap kita harus berlepas diri dari
kekufuran mereka.
Ibnu Katsir -rahimahullah- menjelaskan makna ayat tersebut, “Allah tidak
melarang kalian berbuat ihsan (baik) terhadap orang kafir yang tidak memerangi
kaum muslimin dalam agama dan juga tidak menolong mengeluarkan wanita dan
orang-orang lemah, ya’ni Allah tidak melarang kita untuk berbuat baik dan
berbuat adil kepada mereka. Karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berbuat adil.”[24]
2.6. Islam Menghargai Pluralitas Agama Tapi Tidak Untuk
Pluralisme Agama
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan
manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. kecuali
orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan
mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan
memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (Huud
: 118 – 119)
Imam Qotadah –rahimahullah- menjelaskan : “Kalaulah Allah menghendaki,
tentu Dia akan menjadikan seluruh umat manusia ini sebagai Muslimin.”[25]
“Tetapi mereka senantiasa berikhtilaf (berselisih pendapat) … .” Dari
perselisihan itu bercerailah antara dua kubu, sebagian menjadi Kafir dan
sebagian lagi menjadi Mukmin.
Seorang kafir berhak untuk tetap dalam agamanya, tapi di akhirat, ia harus
mempertanggung jawabkan atas pilihannya itu. Tapi tetap, kaum Muslim wajib
mengajak mereka dengan seruan Islam.
Islam pun menghargai adanya pluralitas (kemajemukan, keberagaman,
perbedaan) agama –selama kemajemukan itu tidak memerangi, menistai dan
melecehkan agama Islam-, akan tetapi Islam tidak menerima pluralisme agama.
Jika pluralitas diubah menjadi isme (suatu paham yang harus diyakini
keberadaannya) maka otomatis Islam harus membenarkan keimanan/prinsip dasar
orang kafir. Maka dari itu, ajaran Islam menolak pluralisme agama dan tidak
memungkiri adanya pluralitas agama.
Perlu diketahui, kesesatan pluralisme dalam beragama bisa berdampak buruk :
1.
Pernikahan
beda agama, yang akan melahirkan anak yang cacat aqidah dan akhlaknya. Dan Allah
pun tidak merestui/meridhoi pernikahan itu. Dan para ulama’ SEPAKAT
bahwa, pernikahan tersebut (beda agama) termasuk dari zina dan dosa besar, juga
harus dipertanggung jawabkan di akhirat kelak.
dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran. (Al Baqarah : 221)
2.
Akan
munculnya orang–orang yang bodoh (jahil) dalam perkara ad-din (agama), karena
semua agama dijadikan satu dan diaduk secara sistematis dengan pemikiran yang
berasal dari akal insani dan membuang wahyu Ilahi Yang Suci. Jika sudah begitu,
maka lahirlah orang–orang bodoh yang berpengetahuan agama yang kosong.
3.
Akan
munculnya kesesatan dimana–mana, karena kebohodan dalam perkara agama. Orang–orang
yang mengusung ideologi pluralisme agama akan menafsirkan ayat–ayat suci
berdasarkan percampur adukkan dari semua agama. Jika sudah begitu, agama bukan
lagi suatu produk dari langit (Allah), tapi sudah berupa produk dari manusia
(ciptaan Allah).
4.
Akan
terjadi kemaksiyatan dimana–mana. Agama mengajarkan menyeru orang untuk berbuat
baik/ma’ruf dan mencegah dari hal–hal yang munkar/maksiyat. Jika pluralisme
agama sudah merebak di suatu masyarakat, maka hal–hal yang ma’ruf akan dianggap
menjadi hal yang munkar/maksiyat, sedangkan hal–hal yang munkar/maksiyat
dianggap sebagai hal–hal yang ma’ruf/baik.
Jika sudah begitu, orang–orang yang tidak mau agamanya dilecehkan,
dinistakan bahkan dicampur aduk dengan agama lain, mereka akan mempertahankan
agamanya dengan caranya sendiri.
Maka dari itu, Islam sangat menolak apapun bentuk pluralisme dalam
beragama. Dan tiada toleransi maupun kompromi dengan pluralisme agama. Karena
itu (pluralisme agama) bisa menjadi indikasi senjata orang–orang kafir untuk
menghancurkan agama Allah Yang Mulia ini.
“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya
mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Ali Imran : 54)
III.
KESIMPULAN
Pada intinya, Islam tidak mengajarkan toleransi dan kompromi dalam masalah
yang sifatnya i’tiqadiyyah (aqidah/prinsip) atau yang berkaitan dalam masalah
ukhrowi/akhirat seorang Muslim. Dan haram bagi ummat Islam untuk membenarkan
aqidah keimanan orang–orang kafir dan musyrik serta bergembira atau ikut–ikutan
pada acara hari raya mereka.
Dan ummat Islam dilarang mengikuti fatwa–fatwa ulama’ sesat yang bergelar
akademis tinggi sekalipun, yang membolehkan bertoleransi kepada kaum kafir
dalam masalah–masalah yang terkait di atas. Mereka sengaja memadamkan cahaya
agama Allah dengan pemikiran–pemikiran mereka dengan cara memanipulasi hujjah
dan argumentasi serta melecehkan ayat–ayat Al Qur’an Yang Suci. Dan ummat
Islam tidak boleh tertipu dengan orang–orang semacam itu.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Yusuf al-Qaradhawi. 1994. Fatâwâ
Mu’âshirah. Manshurah: Dar al-Wafa’. Cet. ke-3. Jilid ke-2.
2.
A. S. Hornby. 1986. Oxford Advanced
Learners Dictionary of Current English. London: Oxford University Press. Cet.
ke-23.
3.
Ahmad Warson Munawwir. 1997. Kamus
al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif. Edisi ke-2.
Cet. Ke-14.
4.
Tafsir Al-Baghowy, Maosoatulquranil’adzim,
Yaman, 2011, Juz 8.
6.
Shahih
Al-Bukhori, Maosoatulhaditsunnabawy, Yaman,2011, Juz 4.
7.
Al Muhalla,
Ibnu Hazm, Yaman, 2011, jilid 11.
8.
Tafsir Ibnu
Katsir, Maosoatulquranil’adzim, Yaman,
2011, Juz 3.
9.
Shahih
Al-Bukhori, Maosoatulhaditsunnabawy, Yaman,2011, Juz 8.
10. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muhaqqiq: Sami bin
Muhammad Salamah, jilid 8, terbitan Dar At Thoyibah,
cetakan kedua, 1420 H
11. Jami’ul Bayan jilid 7.
[1] Yusuf al-Qaradhawi. 1994. Fatâwâ
Mu’âshirah. Manshurah: Dar al-Wafa’. Cet. ke-3. Jilid ke-2. h. 667
[3] A. S. Hornby. 1986. Oxford Advanced
Learners Dictionary of Current English. London: Oxford University Press. Cet.
ke-23. h. 909
[4] Ahmad Warson Munawwir. 1997. Kamus
al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif. Edisi ke-2.
Cet. Ke-14. h. 657
[5] أخرج ابن مردويه عن ابن عباس - رضي
الله عنهما - قال: نزلت سورة (قل يا أيها الكافرون) بمكة. انظر: الدر المنثور: 8 /
654.
[8] أخرجه ابن إسحاق، سيرة ابن هشام: 1
/ 362. وانظر الطبري: 30 / 331، ابن كثير: 4 / 561، أسباب النزول للواحدي صفحة
(543). قال الحافظ في الفتح: 8 / 333 وقد أخرج ابن أبي حاتم من حديث ابن عباس قال:
قالت قريش للنبي صلى الله عليه وسلم: كف عن آلهتنا فلا تذكرها بسوء، فإن لم تفعل
فاعبد آلهتنا سنة ونعبد إلهك سنة، فنزلت. وفي إسناده أبو خلف عبد الله بن عيسى،
وهو ضعيف.
[11] قال الفراء في معاني القرآن: 3 /
297 "ولم يقل ديني" لأن الآيات بالنون فحذفت الياء، كما قال:
"يهدين" و "يشفين".
[12] ما بين القوسين ساقط من
"ب". وقوله : وهذه الآية منسوخة بآية السيف: نقل ذلك عن ابن عباس، وهذه
الآية لا تعارض بينها وبين آية السيف، فلا مجال للقول فيها بالنسخ، لأن الجمع
بينهما ممكن، ولا يصار إلى القول بالنسخ إلا بعد تعذر الجمع بين الآيتين. ومعنى
الآية (لكم دينكم) فلا تتركونه أبدا، لأنه ختم على قلوبكم (ولي دين) الذي لا أتركه
أبدا، وذلك أن المشركين - كما تقدم - طلبوا من الرسول صلى الله عليه وسلم أن يعبد
آلهتهم سنة ويعبدوا إلهه سنة فنزلت السورة بيانا لحالهم وتيئيسا للرسول صلى الله
عليه وسلم من إيمان أشخاص بأعيانهم وعدم الطمع في إيمانهم. انظر: تفسير الطبري: 30
/ 330 - 331، الناسخ والمنسوخ للبغدادي، صفحة: (161 - 162) مع التعليق. وراجع فيما
سبق : 3 / 32 تعليق (1).
[14] HR.
Ibnu Majah no. 4023, Ahmad no. 7571, dan Al-Hakim no. 8708. Dinyatakan HASAN
oleh Ahmad Syakir, dan SHAHIH oleh Ibnu Katsir dan Al Albani dalam Silsilah Al
Ahadist Ash Shahihah no. 1887 dan Shahih Al Jami’ Ash Shagir no. 3650
[16] Hikmah:
ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak
dengan yang bathil.
[18] Diriwayatkan
bahwa beberapa orang Arab datang kepada Rasulullah s.a.w. di Madinah. lalu
mereka masuk Islam, kemudian mereka ditimpa demam Madinah, karena itu mereka
kembali kafir lalu mereka keluar dari Madinah. kemudian mereka berjumpa dengan
sahabat Nabi, lalu sahabat menanyakan sebab-sebab mereka meninggalkan Madinah.
mereka menerangkan bahwa mereka ditimpa demam Madinah. sahabat-sahabat berkata:
mengapa kamu tidak mengambil teladan yang baik dari Rasulullah? sahabat-sahabat
terbagi kepada dua golongan dalam hal ini. yang sebahagian berpendapat bahwa
mereka telah menjadi munafik, sedang yang sebahagian lagi berpendapat bahwa
mereka masih Islam. lalu turunlah ayat ini yang mencela kaum muslimin karena
menjadi dua golongan itu, dan memerintahkan supaya orang-orang Arab itu ditawan
dan dibunuh, jika mereka tidak berhijrah ke Madinah, karena mereka disamakan
dengan kaum musyrikin yang lain.
[24] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muhaqqiq: Sami bin Muhammad Salamah,
jilid 8 hal 90, terbitan Dar At Thoyibah, cetakan kedua, 1420 H