Halaman

Rabu, 04 Juli 2012

Konsep Diri


Konsep diri (self consept) merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap pembicaraan tentang kepribadian manusia. Konsep diri merupakan sifat yang unik pada manusia, sehingga dapat digunakan untuk membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya. Para ahli psikologi kepribadian berusaha menjelaskan sifat dan fungsi dari konsep diri, sehingga terdapat beberapa pengertian.

Konsep diri seseorang dinyatakan melalui sikap dirinya yang merupakan aktualisasi orang tersebut. Manusia sebagai organisme yang memiliki dorongan untuk berkembang yang pada akhirnya menyebabkan ia sadar akan keberadaan dirinya. Perkembangan yang berlangsung tersebut kemudian membantu pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan.

Beberapa ahli merumuskan definisi konsep diri, menurut Burns (1993:vi) konsep diri adalah suatu gambaran campuran dari apa yang kita pikirkan orang-orang lain berpendapat, mengenai diri kita, dan seperti apa diri kita yang kita inginkan. Konsep diri adalah pandangan individu mengenai siapa diri individu, dan itu bisa diperoleh lewat informasi yang diberikan orang lain pada diri individu (Mulyana, 2000:7).

Konsep diri didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang, perasaan dan pemikiran individu terhadap dirinya yang meliputi kemampuan, karakter, maupun sikap yang dimiliki individu (Rini, 2002:http:/www.e-psikologi.com/dewa/160502.htm).

Konsep diri merupakan penentu sikap individu dalam bertingkah laku, artinya apabila individu cenderung berpikir akan berhasil, maka hal ini merupakan kekuatan atau dorongan yang akan membuat individu menuju kesuksesan. Sebaliknya jika individu berpikir akan gagal, maka hal ini sama saja mempersiapkan kegagalan bagi dirinya.

Dari beberapa pendapat dari para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian konsep diri adalah cara pandang secara menyeluruh tentang dirinya, yang meliputi kemampuan yang dimiliki, perasaan yang dialami, kondisi fisik dirinya maupun lingkungan terdekatnya.

Menurut Brooks dan Emmart (1976), orang yang memiliki konsep diri positifmenunjukkan karakteristik sebagai berikut:
  • Merasa mampu mengatasi masalah. Pemahaman diri terhadap kemampuan subyektif untuk mengatasi persoalan-persoalan obyektif yang dihadapi.
  • Merasa setara dengan orang lain. Pemahaman bahwa manusia dilahirkan tidak dengan membawa pengetahuan dan kekayaan. Pengetahuan dan kekayaan didapatkan dari proses belajar dan bekerja sepanjang hidup. Pemahaman tersebut menyebabkan individu tidak merasa lebih atau kurang terhadap orang lain.
  • Menerima pujian tanpa rasa malu. Pemahaman terhadap pujian, atau penghargaan layak diberikan terhadap individu berdasarkan dari hasil apa yang telah dikerjakan sebelumnya.
  • Merasa mampu memperbaiki diri. Kemampuan untuk melakukan proses refleksi diri untuk memperbaiki perilaku yang dianggap kurang.

Sedangkan orang yang memiliki konsep diri yang negatif menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
  • Peka terhadap kritik. Kurangnya kemampuan untuk menerima kritik dari orang lain sebagai proses refleksi diri.
  • Bersikap responsif terhadap pujian. Bersikap yang berlebihan terhadap tindakan yang telah dilakukan, sehingga merasa segala tindakannya perlu mendapat penghargaan.
  • Cenderung merasa tidak disukai orang lain. Perasaan subyektif bahwa setiap orang lain disekitarnya memandang dirinya dengan negatif.
  • Mempunyai sikap hiperkritik. Suka melakukan kritik negatif secara berlebihan terhadap orang lain.
  • Mengalami hambatan dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya. Merasa kurang mampu dalam berinteraksi dengan orang-orang lain.

Hal-hal yang perlu dipahami tentang konsep diri adalah :
  • Dipelajari melalui pengalaman dan interaksi individu dengan orang lain.
  • Berkembang secara bertahap.
  • Ditandai dengan kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan (positif).
  • Ditandai dengan hubungan individu dan sosial yang mal adaptif (negatif).
  • Merupakan aspek kritikal yang mendasar dan pembentukan perilaku individu.

Komponen Konsep diri adalah:
  • Gambaran diri adalah sikap individu terhadap tubuhnya, baik sadar maupun tidak sadar. Meliputi : performance, potensi tubuh, persepsi dan perasaan tentang ukuran dan bentuk tubuh.
  • Ideal diri adalah persepsi individu tentang perilakunya yang disesuaikan dengan standar pribadi yang terkait dengan cita-cita.
  • Harga diri adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai dengan cara menganalisis seberapa jauh perilaku individu tersebut.
  • Peran diri adalah pola perilaku sikap nilai dan aspirasi yang diharapkan individu berdasarkan posisinya dimasyarakat.
  • Identitas diri adalah kesadaran akan diri pribadi yang bersumber dari pengamatan dan penilaian sebagai sintesis semua aspek konsep diri sebagai sesuatu yang utuh.

Sumber ;

Senin, 02 Juli 2012

AL-QUR'AN, AS-SUNNAH DAN IJTIHAD

 I.               PENDAHULUAN
Segala puji milik Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah member petunjuk kepada Kita sehingga kita tetap dan iman dan islam dan semoga ihsan. Sholawat dan salam semoga terhaturkan kepada junjungan Kita Nabi Muhammad bin Abdillah SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.
A.      Pendahuluan
Al Qur'an adalah firman Allah yang di dalamnya terkandung banyak sekali sisi keajaiban yang membuktikan fakta ini. Salah satunya adalah fakta bahwa sejumlah kebenaran ilmiah yang hanya mampu kita ungkap dengan teknologi abad ke-20 ternyata telah dinyatakan Al Qur'an lebih dari  1.400 tahun lalu. Tetapi, Al Qur'an tentu saja bukanlah kitab ilmu pengetahuan. Namun, dalam sejumlah ayatnya terdapat banyak fakta ilmiah yang dinyatakan secara sangat akurat dan benar yang baru dapat ditemukan dengan teknologi abad ke-20. Fakta-fakta ini belum dapat diketahui di masa Al Qur'an diwahyukan, dan ini semakin membuktikan bahwa Al Qur'an adalah firman Allah.
B.      Rumusan Masalah
1.      Apa itu Al-Qur’an, hadits dan ijtihad?
2.      Kapan Al-Qur’an dan Hadits mulai dibukukan?
3.      Kapan Ijtihad muncul?
4.      Apa saja yang masuk dalam kategori ijtihad?
II.               PEMBAHASAN
A.      AL-QUR'AN
Al-Qur'an (ejaan KBBI: Alquran, dalam bahasa Arab قُرْآن) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam memercayai bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Ditinjau dari segi kebahasaan (etimologi), Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya: “Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti bacaannya”.(75:17-75:18) 
1.      Terminologi
Sebuah cover dari mushaf Al-Qur'an Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut: “Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir di mana membacanya termasuk ibadah”.
Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas" Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.
2.      Nama-nama lain Al-Qur'an
Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:
1.      Al-Kitab, QS(2:2),QS (44:2) 
2.      Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1) 
3.      Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9) 
4.      Al-Mau'idhah (pelajaran/nasehat): QS(10:57) 
5.      Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37) 
6.      Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39) 
7.      Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82) 
8.      Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33) 
9.      At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192) 
10.  Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77) 
11.  Ar-Ruh (ruh): QS(42:52) 
12.  Al-Bayan (penerang): QS(3:138) 
13.  Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6) 
14.  Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102) 
15.  An-Nur (cahaya): QS(4:174) 
16.  Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20) 
17.  Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52) 
18.  Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51) 
3.      Struktur dan pembagian Al-Qur'an
Surat, ayat dan ruku' Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah (surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar dan Al-‘Așr. Total jumlah ayat dalam Al-Qur'an mencapai 6236 ayat di mana jumlah ini dapat bervariasi menurut pendapat tertentu namun bukan disebabkan perbedaan isi melainkan karena cara/aturan menghitung yang diterapkan. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.
4.      Makkiyah dan Madaniyah
Sejarah Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf Manuskrip dari Al-Andalus abad ke-12 Penurunan Al-Qur'an Dipercayai oleh umat Islam bahwa penurunan Al-Qur'an terjadi secara berangsur-angsur selama 23 tahun. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 13 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah. Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini lebih tepat,sebab ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah
5.      Juz dan manzil
Dalam skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.
6.      Menurut ukuran surat
Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada didalam Al-Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yaitu: As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus  Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu'min dan sebagainya  Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya  Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya.
7.      Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya
Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.
7.1.       Pengumpulan Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW
Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.
7.2.       Pengumpulan Al-Qur'an di masa Khulafaur Rasyidin
7.2.1.      Pada masa pemerintahan Abu Bakar
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.
7.2.2.      Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.
Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih:
Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'." 
Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).
8.      Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an
Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur'an itu sendiri.
9.      Terjemahan
Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; terkadang untuk arti hakiki, terkadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.
9.1.       Terjemahan dalam bahasa Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
1.        Al-Qur'an dan Terjemahannya, oleh Departemen Agama Republik  Indonesia, ada dua edisi revisi, yaitu tahun 1989 dan 2002 
2.        Terjemah Al-Qur'an, oleh Prof. Mahmud Yunus 
3.        An-Nur, oleh Prof. T.M. Hasbi Ash-Siddieqy 
4.        Al-Furqan, oleh A.Hassan guru PERSIS 
9.2.       Terjemahan dalam bahasa Inggris
1.    The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali 
2.    The Meaning of the Holy Qur'an, oleh Marmaduke Pickthall 
9.3.       Terjemahan dalam bahasa daerah Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
1.    Qur'an Kejawen (bahasa Jawa), oleh Kemajuan Islam Jogyakarta 
2.    Qur'an Suadawiah (bahasa Sunda) 
3.    Qur'an bahasa Sunda oleh K.H. Qomaruddien 
4.    Al-Ibriz (bahasa Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang 
5.    Al-Qur'an Suci Basa Jawi (bahasa Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad Adnan 
6.    Al-Amin (bahasa Sunda) 
10.  Tafsir
Upaya penafsiran Al-Qur'an telah berkembang sejak semasa hidupnya Nabi Muhammad, saat itu para sahabat tinggal menanyakan kepada sang Nabi jika memerlukan penjelasan atas ayat tertentu. Kemudian setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga saat ini usaha menggali lebih dalam ayat-ayat Al-Qur'an terus berlanjut. Pendekatan (metodologi) yang digunakan juga beragam, mulai dari metode analitik, tematik, hingga perbandingan antar ayat. Corak yang dihasilkan juga beragam, terdapat tafsir dengan corak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan teologis bahkan corak ilmiah.
11.  Adab Terhadap Al-Qur'an
Sebelum menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an, seorang Muslim dianjurkan untuk menyucikan dirinya terlebih dahulu dengan berwudhu. Hal ini berdasarkan tradisi dan interpretasi secara literal dari surat Al Waaqi'ah ayat 77 hingga 79.
Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.
Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu unsur penting kepercayaan bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa penghinaan secara sengaja terhadap Al Qur'an adalah sebuah bentuk penghinaan serius terhadap sesuatu yang suci. Berdasarkan hukum pada beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, hukuman untuk hal ini dapat berupa penjara kurungan dalam waktu yang lama dan bahkan ada yang menerapkan hukuman mati.
12.  Hubungan dengan kitab-kitab lain
Berkaitan dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Muhammad SAW dalam agama Islam (Taurat, Zabur, Injil, lembaran Ibrahim), Al-Qur'an dalam beberapa ayatnya menegaskan posisinya terhadap kitab-kitab tersebut. Berikut adalah pernyataan Al-Qur'an yang tentunya menjadi doktrin bagi ummat Islam mengenai hubungan Al-Qur'an dengan kitab-kitab tersebut:
1.        Bahwa Al-Qur'an menuntut kepercayaan ummat Islam terhadap eksistensi kitab-kitab tersebut. QS(2:4)
2.        Bahwa Al-Qur'an diposisikan sebagai pembenar dan batu ujian (verifikator) bagi kitab-kitab sebelumnya. QS(5:48) 
3.        Bahwa Al-Qur'an menjadi referensi untuk menghilangkan perselisihan pendapat antara ummat-ummat rasul yang berbeda. QS(16:63-64) 
4.        Bahwa Al-Qur'an meluruskan sejarah. Dalam Al-Qur'an terdapat cerita-cerita mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai beberapa bagian mengenai kehidupan para rasul tersebut. Cerita tersebut pada beberapa aspek penting berbeda dengan versi yang terdapat pada teks-teks lain yang dimiliki baik oleh Yahudi maupun Kristen. 
B.      AS-SUNNAH
1.         As-Sunnah dan sinonimnya
1.1.       Assunnah
Assunnah secara bahasa diartikan sebagai jalan yang biasa ditempuh, jalan yang terpuji.[1] Dalam buku yang lain Assunnah didefinisikan sebagai sesuatu yang berjalan. Secara istilah Assunnah didefinisikan sebagai segala perbuatan, perkataan, penetapan dan siroh nabi Muhammad SAW baik sebelum bi’tsah maupun setelah bi’tsah. [2]
1.2.       Al-hadits
Menurut bahasa kata hadits memiliki arti;
1)   al jadid minal asyya’ (sesuatu yang baru), lawan dari qodim. Hal ini mencakup sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun sedikit.
2)   Qorib (yang dekat)
3)   Khabar (warta), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya.[3]
Dari makna inilah diambil perkataan hadits Rasulullah saw. Adapun hadits menurut istilah ahli hadits hampir sama (murodif) dengan sunah, yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul, baik setelah diangkat ataupun sebelumnya. Akan tetapi kalau kita memandang lafadz hadits secara khusus adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum daripada hadits.[4]
Hadis adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi saw, baik yang berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat [5]
Contoh Jenis dan ragam Hadits :
1.         Hadits yang berupa perkataan ( qaul ), Contoh : Rasulullah SAW bersabda : “ sesungguhnya amal-amal itu bergantung pada niatnya” (HR Bukhori Muslim)
2.         Hadits yang berupa perbuatan ( fi’il) : biasanya berupa penggambaran sahabat tentang perbuatan Rasulullah, seperti : wudhu Rasulullah, shalat beliau, cara haji, dll.
3.         Ketetapan ( taqrir ), yaitu diam atau persetujuan Rasulullah SAW saat melihat atau mendengar sesuatu dikerjakan oleh para sahabat. diantaranya hadits yang diriwayatkan dari Abu Said AlKhudry, ia berkata : Dua orang keluar bepergian, kemudian datang waktu sholat dan tidak ada air pada mereka, maka kemudian mereka bertayammum dengan tanah dan sholat. Kemudian (setelah berjalan lagi) mereka menemukan air dan masih dalam waktu sholat. Maka seorang dari mereka mengulang wudhu dan sholatnya, sementara yang lainnya tidak. Kemudian mereka mendatangi Rasulullah SAW dan menyebutkan hal tersebut, maka Rasulullah mengatakan pada yang tidak mengulangi sholat dan wudhu : “ engkau mendapatkan sunnah, dan sholatmu sah “, dan mengatakan pada yang mengulangi sholat dan wudhu : “ bagimu pahala dua kali “. ( HR Abu Daud & an-Nasa’i)
4.         Sifat atau Siroh, berupa penggambaran sifat-sifat Rasulullah SAW, baik secara fisik maupun akhlak. diantaranya hadits : dari Jabir bin Abdullah ia berkata : Rasulullah SAW tidak pernah melihatku sejak aku masuk islam kecuali ia senantiasa tersenyum padaku . ( HR Tirmidzi )[6]
1.3.       Al-Khobar
Al-Khobar secara bahasa berarti : an-naba’ atau berita. Secara istilah terdapat tiga pendapat, yaitu :
a.          Khobar sama persis dengan hadits;
b.         hadits khusus berasal dari Rasulullah SAW, sedangkan khobar yang berasal dari shahabat dan tabi’in;
c.         khobar lebih umum dari hadits, yaitu bisa berasal dari Rasulullah dan selain Rasulullah SAW. Hal ini didasarkan pada pengertian bahwa khobar adalah lafadz yang berfaidah yang memuat benar dan salah dengan sendirinya. Sebagai contoh : jika seseorang menyampaikan berita bahwa seorang bushman mampu berlari seharian tanpa henti. Berita ini memuat benar dan salah dengan proporsi yang berimbang sampai ditemukannya dalil yang menyatakan benar atau salah pada salah satunya.[7]
Khabar adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi  saw ataupun yang lainnya, yaitu shahabat beliau, tabi’in, tabi’ tabi’in, atau generasi setelahnya.[8]
1.4.       Al-Atsar
Al-Atsar secara bahasa berarti : baqiyyatu asy-syai’ atau sisa/bekas dari sesuatu. Sedangkan secara istilah ada dua pendapat, masing-masing; ada yang menyatakan artinya sama persis dengan hadits; ada pula yang menyatakan bahwa atsar adalah apa yang disandarkan dari sahabat dan tabi’in baik berupa ucapan maupun perbuatan.[9]
2.         As-Sunnah sebagai sumber nilai.
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah al-Qur'an. Bagi mereka yang telah beriman kepada al-Qur'an sebagai sumber hukum, maka secara otomatis harus percaya bahwa sunnah sebagai sumber Islam juga. Ayat-ayat al-Qur'an cukup banyak untuk dijadikan alasan yang pasti tentang hal ini, seperti:
a)        Setiap Mu'min harus percaya kepada Allah dan Rasul-Nya (al-Anfal:20, Muhammad:33, An-Nisa':59, Ali 'Imran:32, al-Mujadalah:13, an-Nur:54, al-Ma'ida:92).
b)        Kepatuhan kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah (an-Nisa':80,  li 'Imran:31).
c)        Orang-orang yang menyalahi sunnah akan mendapatkan siksa (al-Anfal:13, al-Mujadalah:5, an-Nisa':115).
d)        Berhukum terhadap sunnah adalah tanda orang yang beriman (an-Nisa':65).
Kemudian perhatikan ayat-ayat: an-Nur:52, al-Hasyr:4, al-Mujadalah:20, an-Nisa':64 dan 69, al-Ahzab:36 dan 71, al-Hujurat:1, al-Hasyr:7, dan sebagainya.
Apabila sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam hal: cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji, dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat al-Qur'an dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak, muhtamal, dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan sunnah untuk menjelaskannnya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subjektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. 
3.         Hubungan as-Sunnah dan al-Qur'an.
Dalam hubungan dengan al-Qur'an , maka as-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, penjelas atas ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi as-Sunnah dalam hubungan dengan al-Qur'an itu adalah sebagai berikut:
a.        Bayan Tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum mujmal dan musytarak. Seperti hadits: "Shallukama ra'aitumuni ushalli" (shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran dari ayat al-Qur'an yang umum, yaitu: "Aqimush-shalah" (kerjakan shalat). Demikian pula dengan hadits: "khudzu 'annimanasikakum" (ambilah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsiran ayat al-Qur'an "Waatimmulhajja" (dan sempurnakan hajimu).
b.        Bayan Taqrir, yaitu as-Sunnah yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur'an, seperti hadits yang berbunyi: "Shaumul liru'yatihi wafthiruliru'yatihi" (berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat al-Qur'an dalam surat al-Baqarah:185.
c.         Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat al-Qu r'an, seperti pernyataan Nabi: "Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati" adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat al-Qur'an dalam surat at-Taubah:34 yang berbunyi sebagai berikut: "Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak yang kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang sangat pedih". Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
4.         Perbedaan antara al-Qur'an dan al-Hadits sebagai sumber hukum.
Sekalipun al-Qur'an dan as-Sunnah/al-Hadits sebagai sumber hukum Islam namun di antara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain:
a.             al-Qur'an nilai kebenarannya adalah qath'i (absolut), sedangkan al-Hadits adalah zhanni (kecuali hadits mutawatir).
b.             Seluruh ayat al-Qur'an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup, tetapi tidak semua hadits kita jadikan sebagai pedoman hidup. Sebab di samping ada sunnah yang tasyri' ada juga sunnah yang ghairu tasyri'. Di samping ada hadits yang shahih (kuat) ada pula hadits yang dha'if (lemah),dan seterusnya.
c.             Al-Qur'an sudah pasti otentik lafazh dan maknanya, sedangkan hadits tidak.
d.             Apabila al-Qur'an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib maka setiap Muslim wajib mengimaninya, tetapi tidak demikian apabila masalah-masalah tersebut diungkapkan oleh hadits (ada yang wajib diimani dan ada yang tidak).
5.         Penulisan dan Pembukuan Hadits
5.1.       Penulisan Hadits
Pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tulis-menulis sudah tersebar luas, dimana Al-Qur’an sendiri menganjurkan untuk belajar dan membaca, dan Rasulullah sendiri mengangkat para penulis wahyu jumlahnya mencapai 40 orang. Nama-nama mereka disebut dalam kitab “At-Taratib Al-Idariyah”. Bahkan Baladzuri dalam kitab “Futuhul Buldan” menyebutkan adanya sejumlah penulis wanita, diantara mereka: ummul mukminin Hafshah, Ummu Kultsum binti Uqbah, Asy-Syifa’ binti Abdullah Al-Qurasyiyah, Aisyah binti Sa’ad, Karimah binti Al-Miqdad.
Para penulis semakin banyak di Madinah setelah hijrah, setelah perang Badar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh Abdullah bin Sa’id bin Ash agar mengajar menulis di Madinah. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa nama asli Abdullah bin Said bin Al-Ash adalah Al-Hakam, lalu Rasulullah memberinya nama dengan Abdullah, lalu menyuruhnya agar mengajar menulis di Madinah.
Ada beberapa nash yang bertentangan dalam hal penulisan hadits. Sebagian menunjukkan adanya larangan penulisan, dan sebagian lain membolehkan adanya penulisan hadits.
a.         Riwayat yang melarang penulisan hadits
- Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada kami dan sedangkan kami menulis hadits. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apa yang sedang kalian tulis?’ Kami menjawab, ‘hadits-hadits yang kami dengar dari engkau.’ Beliau berkata, ‘Apakah kalian menghendaki kitab selain Kitabullah? Tidaklah sesat umat sebelum kalian melainkan karena mereka menulis dari kitab-kitab selain Kitabullah.’” (Diriwayatkan dari Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Taqyidul Ilmi)
b.         Riwayat yang membolehkan penulisan hadits
- Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tiada seorang pun dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang lebih banyak haditnya dariku kecuali Abdullah bin Amru Al-Ash karena dia menulis sedangkan aku tidak menulis.” (HR. Bukhari)
- Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Ikatlah ilmu dengan buku.’” (Diriwayatkan Al-Khatib dalam Taqyidul Ilmi)
Atas dasar perbedaan nash inilah para ulama berselisih pendapat dalam penulisan hadits. Ibnu Shalah berkata, “Para ulama berselisih pendapat dalam penulisan hadits, sebagian diantara mereka melarang penulisan hadits dan ilmu, serta menyuruh untuk menghafalnya. Sedangkan sebagian yang lain membolehkannya.”
Mereka yang melarang penulisan hadits adalah Umar, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abu Musa, Abu Sa’id Al-Khudri, dan sekelompok lainnya dari kalangan sahabat dan tabi’in.
Sedangkan yang membolehkan penulisan hadits adalah Ali, Hasan bin Ali, Anas, Abdullah bin Amru Al-Ash.
Para ulama telah memadukan dua pendapat yang berselisih antara mereka yang melarang dan membolehkan penulisan hadits sebagai berikut:
1.         Larangan penulisan terjadi pada awal masa perkembangan Islam sehingga dikhawatirkan akan terjadi percampuran dan penggabungan antara hadits dan Al-Qur’an. Ketika keadaan telah aman dan kondusif, serta jumlah penghafal Al-Qur’an telah banyak, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan untuk menulis hadits, dan larangan sebelumnya mnejadi mansukh (terhapus).
2.         Larangan hanya khusus pada penulisan hadits bersamaan dengan Al-Qur’an dalam satu lembar atau shahifah, karena khawatir terjadi kemiripan atau kesamaan.
3.         Larangan hanya bagi orang yang diyakini mampu menghafalnya karena dikhawatirkan akan bergantung pada tulisan, sedangkan diperbolehkan penulisan hanya bagi orang yang diyakini tidak mampu dalam menghafalnya.
Dan tidak diragukan lagi bahwa adanya perbedaan ini hanyalah terjadi pada masa awal saja, kemudian ijma’ kamu muslimin sepakat membolehkan penulisan tersebut. Ibnu Ash-Shalah berkata, “Lalu hilanglah perbedaan, dan kaum muslimin sepakat untuk membolehkannya. Kalaulah tidak dibukukan dalam bentuk tulisan, tentu hadits itu akan lenyap pada masa-masa berikutnya.”
5.2.       Pembukuan Hadits
Pembukuan berbeda dengan penulisan. Seseorang yang menulis sebuah shahifah (lembaran) atau lebih disebut dengan penulisan. Sedangkan pembukuan adalah mengumpulkan lembaran-lembaran yang sudah tertulis dan yang dihafal, lalu menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku.
Upaya untuk mengumpulkan dan membukukan hadits telah dilakukan pertama kali oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hal-hal yang mendorong untuk melakukan pengumpulan dan pembukuan adalah:
1.         Tidak adanya larangan pembukuan, sedangkan Al-Qur’an telah dihafal oleh ribuan orang, dan telah dikumpulkan serta dibukukan pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Dengan demikian dapat dibedakan dengan jelas antara Al-Qur’an dengan hadits.
2.         Kekhawatiran akan hilangnya hadits karena ingatan kuat yang menjadi kelebihan orang Arab semakin melemah, sedangkan para ulama telah menyebar dibeberapa penjuru negeri Islam setelah terjadi perluasan kekuasaan negeri Islam.
3.         Munculnya pemalsuan hadits akibat perselisihan politik dan madzhab setelah terjadinya fitnah, dan terpecahnya kaum muslimin menjadi pengikut Ali dan pengikut Mu’awiyah, serta Khawarij yang keluar dari keduanya. Masing-masing golongan berusaha memperkuat madzhab-nya dengan cara menafsirkan Al-Qur’an dengan makna yang bukan sebenarnya.
Akan tetapi, upaya pengumpulan ini belum menyeluruh dan sempurna karena Umar bin Abdul Aziz wafat sebelum Abu Bakar bin Hazm mengirimkan hasil pembukuan hadits kepadanya. Para ahli hadits memandang bahwa upaya Umar bin Abdul Aziz merupakan langkah awal dari pembukuan hadits. Mereka mengatakan, “Pembukuan hadits ini terjadi pada penghujung tahun ke 100 pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz atas perintahnya.”
Adapun upaya pembukuan yang sebenarnya dan menyeluruh dilakukan oleh Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri yang menyambut seruan Umar bin Abdul Aziz dengan tulus yang didasari karena kecintaan pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan keinginannya untuk melakukan pengumpulan.
Pembukuan hadits pada mulanya belum disusun secara sistematis dan tidak berdasarkan pada urutaan bab-bab pembahasan ilmu. Upaya pembukuan ini kemudian banyak dilakukan oleh ulama-ulama setelah Az-Zuhri dengan metode yang berbeda-beda. Kemudian para ulama hadits menyusunnya secara sistematis dengan menggunakan metode berdasarkan sanad dan berdasarkan bab.
Ibnu Hajar berkata, “Orang yang pertama melakukan demikian itu adalah Ar-Rabi’ bin Shubaih (wafat 16 H) dan Said bin Abi Arubah (wafat 156 H) hingga kepada para ulama thabaqah (lapisan) ketiga (dari kalangan tabi’in). Imam Malik menyusun Al-Muwatha’ di Madinah, Abdullah bin Juraij di Makkah, Al-Auza’I di Syam, Sufyan At-Tsauri di Kufah, Hamad bin Salamah bin Dinar di Basrah.”
Buku-buku yang ditulis pada masa itu dan kini sudah dicetak antara lain:
a.         Al-Muwatha’ karya Imam Malik bin Anas
b.         Al-Mushannaf karya Abdurrazaq bin Hammam Ash-Shan’ani
c.         As-Sunan karya Said bin Mansur
d.         Al-Mushannaf karya Abu Bakar bin Abu Syaibah
Karya-karya tersebut tidak hanya terbatas pada kumpulan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi bercampur antara hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, perkataan para sahabat, dan fatwa para tabi’in. Kemudian ulama pada periode berikutnya memisahkan pembukuan hanya pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja.

C.      IJTIHAD
Ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.
Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
Dasar disyariatkannya ijtihad adalah :

1.         Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
2.             Jenis-jenis ijtihad
2.1.   Ijma'
Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati.
Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
Adapun ijma’ dilihat dari cara perolehannya terbagi menjadi dua, yaitu:
1.        Ijma’ shahih, yaitu kesepakatan para mujtahid suatu masa terhadap sesuatu yang baru
2.        Ijma’ sukuty, yaitu kesepakatan para mujtahid suatu masa terhadap sesutau yang baru dimana sebagian berpendapat dengan pendapat yang jelas sementara yang lainnya tidak berpendapat namun melakukannya.[10]
2.2.   Qiyâs
Beberapa definisi qiyâs' (analogi) 
1.        Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya.
2.        Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya.
3.        Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam Al-Qur'an atau Hadis dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (ilat). 
Perbedaan di atas menunjukkan bahwa qiyas masih dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : qiyas ‘illat, qiyas sibh, dan qiyas aula
2.3.   Istihsân
Beberapa definisi Istihsân 
1.          Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
2.          Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya.
3.          Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
4.          Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
5.          Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.
2.4.   Mushalat murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.
2.5.   Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn umat.
2.6.   Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.
2.7.   Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.
3.          
D.        PENUTUP
1.        Kesimpulan
c.         Dasar hukum islam mencakup tiga hal, yaitu : Al-Quran, As-Sunnah dan Ijtihad
d.         Al-Quran merupakan kitab suci yang merevisi kitab-kitab suci sebelumnya dan bersifat absolute
e.         Al-quran pertama kali dibukukan pada masa khilafah Abu Bakar Shiddiq dan dilakukan standarisasi pada masa khilafah Utsman bin Affan
f.          Hal-hal yang kurang jelas dalam al-quran dijelaskan oleh as-sunnah dan ijtihad
g.         As-Sunnah merupakan semua hal yan berkaitan dengan Rasulullah dan para sahabatnya (perkataan, perbuatan, penetapan dan sifat-sifat).
h.         Assunnah mulai dibukukan pada abad II Hijriyyah.
i.           Ijtihad diperlukan untuk menjawab tantangan masa terkait perkembangan masalah yang terjadi.
j.           Ijtihad dapat dibagi menjadi : Ijma’, qiyas, istihsan, musholat murshalah, Sududz Dzariah, Istishab, dan urf.
k.         Apapun wujud produk ijtihadnya, selama tidak bertentangan dengan al-quran dan hadits dapat dilaksanakan.
2.        Daftar Pustaka
1.         Abdul Wahab Khollaf. Ushul Fiqh. Cetakan ke-8. Juz 1
2.         Hatta Syamsudin, Lc. Modul ulumul Hadits (1).
3.         Amru Abdul Mun’in Salim. Tarjamah Taisiri Ulumul Hadits. Maktabah Ibnu Taymiyyah. Kairo. 1997.
4.         Abdul Hamid Hakim. Assulam. Maktabah Assa’diyyah Putra.
5.         http://muxlim.com/blogs/belajarislam/penulisan-dan-pembukuan-hadits-nabi-


[1] Abdul Hamid Hakim. Assulam. Maktabah Assa’diyyah Putra. Hlm 48
[2] Hatta Syamsudin, Lc. Modul ulumul Hadits (1). Hlm 14
[3] ibid. Hlm 14
[4] Ibid. Hlm. 14
[5] Amru Abdul Mun’in Salim. Tarjamah Taisiri Ulumul Hadits. Maktabah Ibnu Taymiyyah. Kairo. 1997. Hlm 11
[6] Ibid. Hlm. 15
[7] Hatta Syamsudin, Lc. Modul ulumul Hadits (1). Hlm 15
[8] Amru Abdul Mun’in Salim. Tarjamah Taisiri Ulumul Hadits. Maktabah Ibnu Taymiyyah. Kairo. 1997. Hlm 11
[9] Hatta Syamsudin, Lc. Modul ulumul Hadits (1). Hlm 15
[10] Abdul Wahab Khollaf. Ushul Fiqh. Cetakan ke-8. Juz 1. Hlm. 51

Apa komentar Anda?

Pengikut